.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Sunday, October 31, 2010

he will keep his 23 forever

Apa yang ingin kau lakukan saat usiamu dua puluh tiga? Kau ingin hura-hura dalam tahun kejayaanmu. Menikmati setiap bit nafasmu, dengan energi yang melimpah ruah. Oh tidak, kau mungkin sudah mulai berpikir serius. Kau ingin serius menjalin hubungan dengan seseorang yang kau cintai. Kau ingin mengejar cita-citamu, mempi-mimpimu. Kau ingin melejit dalam prestasimu. Kau ingin tinju dunia dengan kedua kepalmu. Kau kejar semua kesempatan di depanmu. Banyak. Banyak sekali yang ingin kau kerjakan…

       Begitu juga dengan Toni Haris.

       Ya, Toni Haris namanya. Tinggi seratus tujuh puluh satu. Rambut keriting, bertubuh kurus. Lelaki itu menjelang umurnya yang ke 23. Dia memang tak tampan seperti Mas Edo. Dia juga tak pandai main gitar seperti Jimmy. Tapi dia cukup enak dilihat. Paling nggak itu kata mbak Lusi, yang sering curi-curi pandang pada Toni Haris. Lebih muda, tapi pembawaan dewasa. Tak seperti kamu, Rang… hahaha … iya deh, mbak…

       Meski tak rajin mengaji. Sholat Toni tak pernah tinggal. Dia lelaki baik-baik. Tumbuh dari seorang anak rumahan. Tak pernah merokok, tak pernah minum minuman yang keras-keras gitu. Bahkan dia nggak ngefans ama kopi. Toni Haris tak hobi keluar malam. Apalagi dugeman, nggak bakalan. Begadang palingan jika dapat giliran ronda.

       Ia smart. Tangkas dalam bekerja. Cermat dalam menilai. Perhitungan dalam bertindak.

       So what happen with Toni?

       It happened to him.

       Dia terbaring dengan selang di hidungnya. Selang di nadinya. Selang dan selang di tubuhnya, seolah cairan itu bukan masuk, melainkan menyedot sedikit demi sedikit material tubuhnya. Ia semakin kurus dan rapuh. Tak ada yang tahu persis kapan penyakit itu datang pada tubuhnya. Mungkin dirinya sendiri juga tidak. Dia hanya batuk kecil. Seingatku dua tahun lalu sesekali dia terbatuk. Tak banyak, hanya sekali dua kali. Seperti orang yang hendak mengenyahkan gatal tenggorokan.

       Namun hari ke hari interval batuk pendek Toni Haris semakin dekat. Dulu hanya sekitar lima belas menit sekali. Menjadi lima menit sekali. Sakitkah batuknya itu?

       Toni bilang tidak. Hanya menjengkelkan. Seperti ada yang menggelitik tenggorokannya, minta dibatukkan.

       Batuk itu menguras energi yang besar. Kekuatan batuk hampir seperti bersin. Jika kau bersin terus-menerus dalam satu menit, kau bisa mati. Demikian juga batuk, batuk. Mengguncang tubuh seperti gempa. Jika mengalaminya sesering mungkin organ-organ tubuhmu akan kacau. Otakmu bisa rusak. Syaraf motorikmu bisa putus. Kau bisa mati mendadak.

       Itu sebabnya orang yang sering batuk akan makin kurus. Toni Haris makin kurus.

       Satu setengah tahun yang lalu Toni Haris resmi masuk rumah sakit karna hal ini. Dia menginap di bangsal rumah sakit selama kurang lebih tiga minggu. Keluar dari rumah sakit tampaklah Toni belum sembuh benar. Ia pucat, lesi. Dan batuknya yang kecil masih tak hilang, malah sepertinya frekwensi lebih sering dari sebelumnya. Ia juga jadi sering tidak masuk kantor. Tak perlu ditanya kondisinya kesehatannya. Siapapun dapat melihat dari fisiknya. Setelah itu ia jadi sering mengkomsumsi obat dokter. Lalu keluar masuk rumah sakit.

       Lalu angin berhembus. Merontokan daun. Memudarkan janji. Lembar-lembar sobekan almanak adalah tanda, waktu berjalan.

       Dihitung dari terakhir kali Toni Haris duduk disebelah mejaku, almanak sudah lebih dari delapan puluh kali disobek. udah hampir tiga bulan Toni Haris tidak masuk kantor. Dia tergolek di rumah sakit.

       Penyakit sebetulnya apa? Pada diagnosis sebelumnya, ada indikasi radang paru. Tapi ternyata itu tak betul, setelah dicek-up beberapa kali di laboratorium yang berbeda. Dokter mengatakan ada flek diparu-paru Toni Haris. Aku tak tau jelas sebetulnya, sebab informasi aku terima dari adik perempuan Toni Haris. Sedangkan adiknya diberitahu ibunya. Ibunyalah yang diberitahu dokter. Jadi kira-kira penjelasannya adalah bahwa flek itulah yang menyebabkan dinding paru-paru Toni Haris kesulitan mengikat oksigen yang masuk. Itulah yang menyebabkan dia sering batuk. Karna udara yang dia terima seringkali gagal ditangkap.

       Lalu bagaimana mengobatinya?

       Ibunya bilang, Dokter juga belum bisa memastikan jenis dan penyebab flek paru-paru Toni. Sampel yang dikirim ke Jakarta ternyata diteruskan ke rumah sakit Singapura. Peralatan rs Jakarta belum mampu menganalisis sampel tersebut. Tapi sampai kini tak ada kepastian tentang hasil analisis itu pihak rs Singapura. Karna sering baca buku kedokteran, jurnal kesehatan, jurnal dokter. Aku jadi tau bahwa dokter itu hampir tidak dapat dipercaya. Dokter itu hanya mengira-ngira. Sedangkan gejala penyakit yang jumlahnya jutaan itu hampir serupa. Dan karna dokter mengira-ngira maka dokter berlindung dibawah ketiak prosedur. Selama dokter mengikuti prosedur maka dia kebal terhadap segala jenis tuntutan. Segala kesalahan, kegagalan dibawah prosedur adalah manusiawi. Diluar itu baru disebut kelalaian atau kealfaan.

       Diagnosis.
       Diagnosis.
       Diagnosis.

       Dokter bilang inti pengobatan itu adalah diagnosis. Tanpa diagnosis yang tepat, semua pengobatan akan sia-sia. Takkan bermuara pada kesembuhan. Sebetulnya bukan hanya sia-sia, namun bisa menimbulkan penyakit baru. Maka sibuklah para dokter itu mendiagnosis penyakit Toni Haris.

       Dokter sebelumnya, mendiagnosis Toni Haris begini. Dokter yang lain, mendiagnosis begitu. Datang lagi dokter yang katanya lebih canggih bilang yang lain lagi. Diagnosis ternyata adalah kira-kira. Sekolah yang begitu lama, Buku yang tebal-tebal, peralatan yang canggih ternyata hanya menghasilkan kira-kira. Begitu rapuhnya pengetahuan manusia. Tapi ironisnya banyak manusia yang begitu sombong hanya karna merasa bisa menyembuhkan suatu penyakit.

       Diagnosis yang tak berhasil, pengobatan yang tidak tepat, menjadikan Toni Haris objek eksperimen pengobatan. Suatu ketika dia diinjeksi beberapa ampul obat yang tak tau apa sebutannya. Hingga dia kesulitan bernafas. Lain waktu dia diberi obat lain yang membuat gangguan saraf di telapak kakinya. Hingga telapak kakinya sakit untuk dipijakan. Tak tau apa jenis obat itu. Yang jelas obat itu mahal. Tapi tak sedikitpun obat mahal itu menyembuhkannya.

       Hari ke hari penurunan kesehatan Toni akselerasinya makin cepat. Dari dapat berjalan sendiri ke toilet, hingga harus dipapah. Dari sholat berdiri, kemudian menjadi duduk, hingga akhirnya berbaring saja. Dari bisa bercakap-cakap dengan penjenguknya, hingga hanya bisa menatap mata penjenguknya saja.

       Mbak Lusi menangis melihatnya. Mbak Lusi menangis menceritakannya. Lidahku kelu, ludahku getir mendengarnya. Aku menolehkan wajah saat kurasa mataku menghangat. Kulihat, Ri pun menggigit bibir saat kuceritakan, padahal dia tak kenal Toni Haris.

       Mungkin jika Toni Haris boleh protes pada Tuhan. Dia akan protes, kenapa dia yang sudah begitu baik menjaga kesehatannya, menjalani hidupnya sebijak mungkin diberi sakit seperti itu. Kenapa tidak orang yang menghirup nikotin berkardus-kardus saja. Kenapa tidak mereka yang menghabiskan umurnya di kepulan asap diskotik. Masihkah mereka bisa tertawa jika melihat perjuangan Toni Haris untuk dapat bernafas dengan lapang dan merdeka…

       Tapi sepertinya Toni Haris sudah memahami. Setiap orang dapat ujiannya sendiri.

       Malam itu dokter datang pada ibunda Toni Haris. Ada sebuah obat baru, yang akan dicoba pada Toni Haris. Dokter memohon ijin. Jika obat yang ini gagal, sang dokter angkat tangan. Ini obat terakhir. Upaya terakhir…

       Toni yang beberapa hari hanya terbaring dan terpejam dengan sesekali terbatuk, seusai diberi obat itu kelihatan tenang. Jam dua malam Toni Haris terjaga, dia bilang haus pada sang bunda. Ibunya yang berjaga menyuapinya susu. Toni Haris minum begitu lahap. Sempat tersenyum ketika sang bunda mengelus kepalanya. Beberapa menit setelah itu dia tertidur lagi. Nafasnya kian melemah. Sepuluh menit kemudian metronom jantung Toni Haris grafiknya menjadi garis datar.

       Ibundanya tau, Kepergian Toni Haris hanya tinggal hari atau jam. Dan beliau sudah bersiap menerimanya. Jika Mbak Lusi diberi pilihan, mungkin ingin lebih cepat lagi. Tak tahan ia melihat keadaan Toni Haris. Mungkin juga sang bunda. Ya beliau sudah bersiap melepas Toni. Tapi beliau menangis jua saat anaknya pergi.

       Toni Haris pergi.
       He just began in 23 at that time… and he will keep his 23 forever
(Baca Selengkapnya)