.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Monday, January 21, 2008

shanghai baby!

Namaku nikki, tapi semua temanku memanggilku Coco, yang diambil dari nama Coco Chanel. Coco Chanel seorang wanita yang hidup sampai usia hampir sembilan puluh tahun. Ia merupakan idolaku, setelah Henry Miller. Setiap pagi ketika aku membuka mata, aku memikirkan apa yang dapat membuatku terkenal. Hal ini telah menjadi ambisiku, hampir menjadi raison d’tre ku. Aku ingin menjadi pusat perhatian di langit kota laksana kembang api.

Well, saya suka buku ini.

Begitu paragraf pertama membaca buku ini saya memutuskan akan membawanya ke kasir. 19 Mei 2006 saya membelinya dari Gramedia Matraman. Beberapa bulan sebelumnya saya sudah sering melihat buku ini menggeletak atau menyelip di rak buku. Namun hanya acuh saja karena saya pikir buku ini sejenis novel-novel teenlit atau metropop yang membosankan. Namun ternyata saya salah. Buku ini beda.

Jika Anda menemukan novel dengan judul Gadis Shanghai dengan pengarang yang sama, itu merupakan novel yang sama. Itu cetakan pertamanya—saya mendapati cetakan pertama buku ini di toko buku langganan saya—dan menyesal membeli cetakan yang keduanya. Sebagai kolektor buku saya lebih suka cetakan pertama. Bahasa dalam novel ini begitu kaya. Wei Hui seorang pengarang wanita—saya bayangkan dia secantik wanita dalam cover novelnya—yang otaknya penuh dengan mutiara kata-kata. Dia banyak menghidupkan paragrap dengan metafora dalam mengungkapkan gagasan.

Dari segi cerita novel ini biasa saja. Jika Anda mengharapkan dengan membaca buku ini Anda akan menemukan banyak kejutan, maka Anda akan kecewa. Tapi jika Anda jenis orang yang menyukai keindahan kata-kata, namun bukan yang berbentuk puisi. Yah buku ini untuk Anda.

Jika Anda penulis. Anda pasti suka buku ini. Buku ini mengajarkan kepada saya. Bahwa pengungkapan yang biasa sebetulnya bisa menjadi luar biasa dan kaya makna serta memiliki arti yang dalam jika ditulis dengan imaji yang lepas. Dengan imaji yang lepas kita bisa menyusun metafora-metafora yang kuat. Mengubah gagasan yang remeh menjadi sesuatu yang bermakna dalam dan indah—tak heran dia menyukai Henry Miller.

Mari kita simak beberapa paragrap pertama dari bab yang judulnya keberangkatan :


Desember adalah bulan yang kejam. Tidak ada bunga lilac yang mekar digedung terpencil yang sudah berurumur satu abad. Tidak ada keindahan telanjang diatas tangga taman ataupun melewati hiasan restoran Takashi’s Le Gercon Chinois yang riang gembira di jalan Hengshan. Tidak ada burung merpati, tidak ada ledakan gelak tawa, tidak ada bayangan biru musik jazz. Gerimis musim dingin mengambang suram dan meninggalkan rasa pahit di ujung lidahmu. Kelembaban udara membuatmu membusuk, membusuk sampai ke otak. Musim dingin Shanghai terasa basah dan menjijikan, seperti menstruasi wanita.

Tian-tian memutuskan untuk bepergian. Setiap tahun pada musim ini ia akan meninggalkan Shanghai selama beberapa saat. Ia tidak tahan udara dingin dan lembab pada musim ini, bahkan sinar matahari yang jarang terlihat memancarkan cahaya abu-abu. Dan jika menyinarimu akan membuatmu merinding.

Membaca paragraf ini membuat kita berpikir : Hei bagaimana Wei Hui mengaitkan kelembaban udara dengan otak yang membusuk. Meski kelihatannya metafora yang keterlaluan, namun nyatanya mengena. Kita bisa membayangkan kuatnya perasaan sang tokoh dalam menyikapi cuaca. Memang begitulah seharusnya imaji pengarang. Dan perlu saya tambahkan paragaf-paragraf penuh metafora seperti itu banyak bertebaran dalam setiap bab di halaman buku.

Di paragrap lain kita temui bagaimana Wei Hui menggambarkan carut-marutnya Shanghai dari bingkai kacamata Coco :


Di jalan huanting terdapat banyak remaja china dan asing yang berpakaian seperti anak jalanan. Sekelompok anak laki-laki jepang dengan rolerskate terlihat seperti menaiki kupu-kupu ketika memamerkan tehnik masing-masing, rambut semiran mereka seperti kemoceng. Seorang gadis shanghai dengan bibir warna hitam sambil menjilati permen lollipop fruit treasur berjalan disebelah temannya dengan bibir warna perak. Sebagian orang merasa khawatir bahwa gadis-gadis seperti itu akan menelan terlalu banyak pelembab bibir murah dan mati keracunan, namun sampai saat ini belum ada laporan resmi yang menyatakan bahwa kejadian seperti itu benar-benar terjadi.

Diantara keramaian, muncul sekelompok pengusaha berpakaian rapi, salah satu dari mereka mengangkat tangannya dan menyapaku ramah. Kupikir pastilah ia melambai pada orang yang berada dibelakangku, jadi aku berjalan terus tanpa memperdulikannya. Namun ia terus melambai dan memanggil namaku. Aku memandanginya dengan perasaan terkejut


Asik kan?

Setau saya amat jarang pengarang Indonesia yang bercerita model begini—barangkali itu sebabnya Indonesia nggak pernah dapat nobel sastra, Pramudya Ananta Toer aja baru direkomendasikan. Kalo ada juga jumlahnya nggak banyak. Angkatan tua-tua. Angkatan muda masih kebanyakan hobi bikin chiklit. Belom mau bersusah-susah ria membuat karangan yang bergaya bahasa lumayan bagus.

Novel ini menceritakan seorang gadis Shanghai yang ingin jadi penulis terkenal. Nikki yang lebih senang dipanggil Coco. Sebagai gadis remaja yang tumbuh ditengah perbenturan peradaban—China yang mulai membuka diri terhadap dunia luar. Coco pun mengalami gegar budaya. Bergulat dengan kerasnya kehidupannya metropolitan. Kehidupan yang begitu bebas. Membongkar nilai-nilai china lama. Namun uniknya meski Coco prihatin dengan sikap pola kehidupan generasi muda kotanya. Kehidupannya tidaklah lebih baik dari mereka.

Jika Anda pernah membaca Angsa-angsa Liar-nya Jung Chang dan pikiran Anda masih hidup masih dalam bayangan China lama dengan kehidupan rakyatnya yang begitu seragam dan anak-anak muda yang tak perduli pada 3F Revolution*), China jaman Mao tse tung berkuasa, maka bayangan Anda akan segera terkikis. Generasi China telah menggeliat jauh dari yang kita bayangkan dari segi budaya. Sebagaimana negara-negara lain di dunia. Negara ini juga terkena imbas buruk budaya global. Tidak heran bahwa buku ini dilarang dan dibakar di negeri China. Buku ini menggambarkan carut marutnya transisi budaya China baru. Kisah Coco dianggap telah membantu memberi semangat pemberontakan kaum muda terhadap nilai-nilai lama. Membenarkan tindak-tanduk mereka. Membuka aib mereka pada dunia luar. Budaya yang belum sepenuhnya diterima oleh generasi sebelumnya yang menganggap bahwa kebebasan lepas batas adalah sesuatu yang tabu.

Membaca novel ini mengingatkan saya pada Saman-nya Ayu Utami. Pikiran-pikiran nakal yang dibungkus dengan gaya bahasa yang indah. Novel ini bercerita rentang seorang perempuan metropolis yang gelisah. Yang bercita-cita menjadi penulis terkenal. Yang mempunyai kekasih bernama Tian Tian. Seorang seniman yang mempunyai menderita impotensi, hingga mereka melakukan kegiatan sex yang agak tak wajar. Meski amat mencintai kekasihnya, sebagai wanita normal ternyata Coco merindukan sex yang normal. Hingga dia akhirnya terperangkap pada suatu perselingkuhan panas dengan Mark, seorang bule asing yang telah berkeluarga.

Hanya itu?

Tentu saja tidak. Dari bola mata Coco kita bisa melihat apa yang dia lihat dan dari pikirannya kita bisa merasakan apa yang membuatnya gelisah. Tentang cita-citanya yang dia perjuangkan. Tentang sikap keluarganya. Tentang teman-temannya.

Membaca buku ini bagi saya seperti membaca sebuah diari seorang perempuan. Sangat mengasikkan. Dari segi komposisi tentu saja saya masih mengunggulkan Ayu Utami dalam novel Saman-nya. Alur cerita novel ini amat konvensional. Hanya ungkapan yang digunakannya cukup brillian. Jadi jika anda tertarik.

Cari novelnya di toko buku. Atau
Pinjam ke perpustakaan. Kalo ada hahaha….

*)3F Revolution = Fashion-Film-Fastfood

(first-posting on intranet djp)
(Baca Selengkapnya)

Thursday, January 17, 2008

dunia sudah mau kiamat!

Besok hari jumat lagi.

Ah tak terasa waktu begitu cepat. Barangkali memang dunia ini sudah mau kiamat. Di buku-buku orang bilang demikian.

Kemarin aku menegur seseorang yang menyalib motorku. Iseng saja sebetulnya, ketika ternyata dia terjebak dilampu merah. Kutanya si keparat itu dengan bahasa Andromeda, “apakah yang lebih penting dari nyawamu? kenapa kau ngebut begitu? Bagaimana jika aku tadi tak mengalah. Kau akan mati digilas truk barusan kataku” aku bersiap-siap menerima kemarahannya. Barangkali dia akan melotot atau meninjuku. Aku maklum di cuaca panas begini orang menjadi mudah menghajar orang.

“Dunia sudah mau kiamat!”

“Kiamat?”

“ya kiamat. Kau tak tau ya?”

Baru aku ingin bertanya lagi “kalau kiamat memangnya kau bisa lari?” tapi lampu sudah berubah hijau. Dia melesat. Aku ingin menyusulnya. Tapi sial mesin motorku mati. Tan-tin-tan-tin kendaraan dibelakangku. “Wei cepetan. Ngapain sih?” teriak pengendara mobil dibelakangku.

“Dunia udah mau kiamat!” teriakku lalu melesat.
(Baca Selengkapnya)

Wednesday, January 16, 2008

dunia tanpa sekolah, the inspirational book!

Apa arti sekolah buat seorang anak yang telah membaca lebih dari 600 buah buku? Apa arti pergi ke sekolah buat siswa SMP berusia 15 tahun yang ingin jadi penulis?

Mengapa Muhammad Izza Ahsin memutuskan quit! Walau dia harus berjuang berbulan-bulan untuk membuat kedua orang tuanya menyerah pada keputusannya. Mengapa Izza mengalami sindrom sekolah?

Mengapa pagar tembok gedung sekolah dan besi-besinya bagai sebuah penjara yang mengurung jiwanya?

…pagar itu adalah penjara pikirannya. Dan para guru adalah sipir-sipirnya. Sementara dia salah satu napinya. Mereka merampas kebebasannya yang paling asasi, kebebasan berpikir, kebebasan berenang dan menyelami serta menyesap madu ilmu pengetahuan…

Mengapa saya harus dijejalkan oleh begitu banyak pelajaran yang tak pernah saya inginkan? Mengapa saya harus membuang-buang umur hanya untuk mengetahui not balok, menghafal UUD 45, kosa kata daerah, syair lagu daerah, mempelajari rumus-rumus yang mungkin takkan saya pakai seumur hidup saya?

Tanpa PPKN pun saya yakin saya akan menjadi warga negara yang baik dan taat hukum. Sebab agama telah mengajarkan saya demikian. Tanpa pernah belajar PPKN pun tukang batu dapat jadi warga yang baik. Dengan dijejali PPKN, berjam-jam penataran P4 yang korupsi akan tetap korupsi. Nepotisme akan terus berjalan.

Apa jika tak bisa membaca not balok hidup saya akan sengsara? Apa dengan tidak hafal lagu daerah atau lagu nasional saya tidak punya kebanggaan nasional atau tak menghargai warisan leluhur? Wah kalau begitu caranya alangkah susahnya hidup di bumi Indonesia. Di bumi yang telah lebih dari enam puluh tahun merdeka.

tidak!
tiDAAAK!!
TIDAAAAAAAK!!!

Saya ingin belajar! Tapi bukan begini caranya!!! Saya ingin memilih apa yang ingin saya pelajari. Dan membuang apa yang bagi saya tak perlu saya ketahui. Saya bukan manusia setengah dewa yang bisa menyerap semua itu. Saya tak perlu belajar itu semua oke? Kalau Anda berpendapat pelajaran yang ada dikurikulum sekolah sudah tepat, itu hak Anda. Tapi jangan paksa saya. Saya lebih percaya pada kekuatan fokus dari pada harus belajar dengan cara gado-gado!

Bagi saya belajar adalah perjalanan sepanjang hayat. Bukan hanya duduk di bangku sekolah! Seperti yang saya liat sehari-hari. Selesai sekolah. Selesai juga belajar

Mengapa setiap orang begitu mengagung-agungkan sekolah? Padahal sekolah hanyalah mencetak lembar-lembar ijazah. Mencetak generasi-generasi bermental tempe yang begitu percaya ujung nasibnya pada angka-angka yang tercetak di selembar kertas. Mematikan kreativitas diotakmu. Menyuntikkan doktrin di otakmu tentang betapa malangnya orang yang tidak sekolah (sementara kau tidak menyadari betapa malangnya dirimu!)

Jika kau mengatakan pendidikan adalah ukuran kemakmuran. Cobalah kau tanya Bill Gates dan Dell. Mengapa mereka lebih memilih de’o daripada lulus kuliah. Tanyalah Anang Sam berapa banyak pengaruh sekolah membodohi pikiranmu. Hasil survey membuktikan : Semakin tinggi tingkat pendidikan. Makin rendah tingkat kesejahteraan! Kalau kau tidak percaya. Cobalah kumpulkan data orang-orang terkaya disekitarmu.

Saya ingin menulis novel. Mengapa saya harus mempelajari trigonometri yang demikian njelimet. Sinus, kosinus, tangen. Perduli apa itu semua. Saya tak membutuhkannya. Tidak! Otak saya bukan seperti John Nash. Kalau saya bilang trigonometri tidak penting buat saya, itu seperti saya mengatakan gergaji tidaklah penting buat seorang pianis.

Mungkin saja suatu hari nanti saya akan mati-matian belajar Aljabar, sampai muntah-muntah, jika tulisan saya mengharuskan demikian

Mengapa di bumi merdeka…

…Di bawah kolong langit yang telanjang kemerdekaan pikiran malah dipasung. Sementara orang-orang menonton film biru dibiarkan saja? Mentri-mentri korup tak dikandangkan? Filosophi macam apa ini? Dongeng dari mana sistem karatan ini? Mengapa begitu sedikit orang yang berani menentang dogma gila ini?

Apa yang kau dapat jika jam ini kau belajar matematika, lalu dua jam berikutnya kau belajar biologi dan jam selanjutnya lagi kau dijejali geografi, kemudian ketika kau telah kelelahan masih disuruh duduk mendengarkan ceramah kesenian.

Tak heran Rabindranath Tagore mengatakan sekolah adalah suatu hal yang tak tertahankan.

Bagaimana jadinya dunia ini jika saja Thomas Alva Edison tak pernah dikeluarkan dari sekolah?! Akankah kita masih memakai obor. Atau menyalakan komputer dan menyetel tivi dengan aki yang harus diisi setiap minggu airnya seperti jaman film Michael London?

Bagaimana jalan cerita sejarah jika Einstein tidak dianggap mahluk idiot dan disingkirkan dari sekolah?
- - -


Bagaimana cerita seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai akademis tumbuh menjadi pemberontak akademis?

Apakah M. Izza Ahsin, keracunan buku-buku yang dibacanya seperti anggapan yang terpantek pada kepala guru BP sekolahnya?

Buku dibaca untuk diambil manfaatnya.

Apa gunanya membaca beratus-ratus buku jika kau biarkan dirimu terapung-apung dalam sungai kebodohan. Sebab keras kepala, doktrin gila yang membuatmu ketakutan, atau kepercayaan keliru turun-temurun yang akan kau dan mereka wariskan?

Hatimu membenarkan. Jiwamu menerima. Mulutmu mengamini. Tapi kelakuanmu membantahnya? Macam mana kau ini?

Sulit bagiku menjelaskan padamu tentang apa yang ada dikepalaku. Sebab pikiranmu bahkan alam bawah sadarmu yang telah terpola sekian lama mengatakan : sekolah adalah simbol status sosial. Dimana angka-angka ukuran kecerdasannya. Dan titel-titel adalah perhiasan kebanggaan. Hingga tak bersekolah berarti…

Kau tak punya otak!
Calon maling!
MaDeSu!
Enyah jauh-jauh! Jangan kau kawani anakku, berandalan bermasa depan suram!
Bagiku itu tak penting.

Aku tak butuh gelar. Aku tak butuh angka-angka. Bagiku nilai seseorang adalah dirinya sendiri secara aktual. Dimana karya-karya tidak butuh wakil tertulis pada selembar kertas berlabel sertifikat atau ijazah! Tapi kenyataan faktual!

* Mungkin orang tuaku sudah kalah. TAPI AKU BELUM MAU MENYERAH!!! *

Itu semua yang di atas kata-kata saya (kecuali yang diapit tanda bintang) . Tapi paling tidak itulah inti buku : Dunia Tanpa Sekolah yang ditulis M. Izza Ahsin, anak usia 15 tahun yang memutuskan sesadar-sadarnya untuk keluar dari bangku sekolah.

Buku ini adalah kisah nyata penulisnya sendiri.

Izza siswa kelas tiga (yang tak sudi lagi lulus) SMP, telah memilih nasibnya sendiri. Namun sebelum dunia luar menguji tekadnya. Rintangan pertama yang harus dihadapinya adalah kedua orang tuanya sendiri. Bagaimana mungkin orang tuanya yang berpendidikan S2 membiarkan anaknya sendiri tidak sekolah. Padahal ibunya seorang guru dan ayahnya seorang kepala sekolah? Mbak-mbak dan Mas-mas keluarga dekatnya sedang menempuh strata satu di UGM.

Apa kata dunia?

Ya apa kata dunia? Itulah problem sang orang tua. Sistem pola pikir tersesat yang sudah karatan tertanam di otak kami. Otak anda. Otak kita semua. Nggak sekolah? Mau jadi apa nanti? Semboyan yang barangkali awalnya berangkat dari keprihatinan akan rendahnya tingkat pendidikan di negeri kita. Lalu kebablasan menerjemahkan menjadi bahwa sekolah (formal) adalah satu-satunya media untuk menjadi pintar serta meraih masa depan.

Inspirasional!

Sebenarnya buku ini sudah lama saya baca. Sekitar Agustus 2007 kemarin waktu masih luntang-lantung di KPP Pratama Kebon Jeruk Satu.

Buku ini mencerahkan. Membuka cara pandang yang selama ini tergembok dalam otak kita. Barangkali seperti kata Izza. Sukar bagi kita yang selalu diajarkan konservatif dalam menghadapi masa depan—dimana prestasi di sekolah merupakan jaminan masa depan yang baik---untuk menerima cara pandangnya. Sejak kecil kita tanpa sadar telah didoktrin bahwa sekolah adalah the bestway to the future. Masyarakat, guru-guru, orangtua tak memberi kesempatan untuk memikirkan celah lain. Hingga ketika kurikulum sekolah begitu menjemukan. Orang yang kelebihan uang mensiasati dengan mengkursuskan anak-anaknya agar mempunyai daya saing tinggi. Membekali anak-anaknya dengan berbagai keterampilan.

Bagaimana dengan yang miskin dan pas-pasan?

Mereka yang miskin dan pas-pasan barangkali hanya bisa berupaya dengan belajar sungguh-sungguh. Karena satu-satunya aset masa depan mereka, seperti kata Izza, adalah prestasi akademis (nilai-nilai di Ijazah). Dan itu berarti sekitar 95 persen—yang harus tersingkir, kalah bersaing—sisanya hanya bisa pasrah menunggu nasib, berdoa banyak-banyak semoga nasib membawa peruntungan mereka kearah lebih baik..

Mereka yang miskin dan tidak begitu cerdas. Apalagi berotak pas-pasan akan semakin prustasi. Di sekolah tak dianggap, guru-guru mencela. Di rumah orangtua memarahi, menuduh mereka anak malas. Di luar masyarakat mencibir, mencap brandalan. Tak ada yang memberi tempat. Tak ada yang memberi solusi. Dicekoki gaya hidup beracun yang ditawarkan media televisi. Hingga lahirlah generasi tempe. Pacaran. Tawuran. Narkoba.

Setuju atau tidak. Faktanya, kurikulum sekolah di negeri kita memang didesain untuk membangun hidup sebagai pekerja. Bukan pencipta lapangan kerja.

Coba tanya cita-cita anak anda.

Ingin jadi dokter
Ingin jadi pilot.
Ingin jadi arsitek.
Ingin jadi guru.
Ingin jadi tentara.
Ingin jadi presiden.

Ada yang ingin jadi pedagang? Ada yang ingin jadi tukang tahu? Ada yang ingin jadi penulis?

Nyaris tak ada!
Mengapa demikian?

Itu karena pola pikir kita dibentuk bahwa menjadi dokter atau arsitek atau mentri atau dosen lebih mulia dan lebih makmur daripada pedagang atau tukang tahu. Jangan konotasikan pedagang dengan melulu orang yang jualan tahu di pasar. Mereka yang berbisnis retail juga pedagang. Awal pertama memulai mereka tak sebesar itu. Bahkan banyak yang memulainya dengan modal dengkul. Dan sebagian dari mereka yang berhasil. Justru mereka dengan pendidikan minim. Ada yang hanya lulus SD atau SMP. Bahkan nggak jarang yang hanya bisa baca tulis tanpa ijazah selembarpun.

Mengapa orang yang sudah sekolah tinggi-tinggi kalah juang dengan mereka? Padahal secara basic pengetahuan lebih baik dari mereka

Barangkali jawabannya sederhana. Orang-orang ini keracunan ilmunya sendiri. Pengetahuannya telah membelenggu dirinya. Ketika akan memulai usaha mereka akan berpikir seribu kali. Mengkalkulasi seribu macam kemungkinan. Segala macam teori ekonomi. Teori pasar. Teori moneter. Teori permintaan. Teori penawaran. Teori busuk yang menakut-nakuti langkah mereka.

Kenapa kita sulit ngomong inggris? Padahal dari SMP kita sudah belajar bahasa inggris.

Barangkali jawabnya juga sederhana. Karena kita selalu dijejali teori, bukan praktek. Teori membuat kita ketakutan. Bagaimana jika salah mengucap? Bagaimana jika salah tenses? Tentu memalukan, bukan? Orang-orang akan menertawakan—padahal yang tertawa belum tentu bisa! Pendeknya semua pengetahuan itu sudah membuat kita keder, sebelum memulai.

Pola pikir akan membentuk kerangka berpikir, menyikapi keadaan, memberikan respon.

Mari kita simak seorang guru bahasa indonesia yang menyuruh siswanya membuat kalimat aktif dengan kata pergi. Maka inilah yang ditulis murid-muridnya di papan tulis.

Ibu pergi ke pasar membeli sayur.
Ayah pergi ke pasar membeli pupuk
Amir pergi ke pasar membeli seragam sekolah
Wati pergi ke pasar belanja ikan
Sarimin pergi ke pasar membeli pisang (wah bahkan sarimin pun nggak luput yah?...)

Nyaris tak ada kalimat : Bu guru pergi ke pasar menjual sayur.

Mengapa begitu?

Karena kalimat ‘Bu guru pergi ke pasar menjual sayur’ itu terdengar seperti aib. Bu guru kok jualan sayur? Memalukan. Apalagi jika muridnya menyusun kalimat : sepulang sekolah Pak Guru pergi mencari rombengan.

Bisa dipastikan sang murid akan segera disetrap berdiri dengan kaki satu dan tangan kiri melingkari kepala, menjewer telinganya kanannya sendiri

Jadi tak usah bermimpi bangsa kita akan mampu bersaing dengan Jepang suatu hari nanti, jika pola pikir begini masih terus dipertahankan.

Selama ini terus terang, saya seperti pengakuan kedua orang tua Izza. Bahwa saya tau, kurikulum sekolah tak banyak memberi manfaat—selain melatih logika (namun membelenggu pola pikir) dan lembaran ijazah, atau bersosialisasi barangkali.

Namun anehnya, pikiran saya selalu memiliki citra negatif terhadap seorang yang putus sekolah. Atau memilih keluar dari sekolah. Padahal saya sendiri punya teman yang betul-betul cerdas. Dia keluar dari sekolah karena tak ada biaya. Dan mulai merintis usaha.

Sebenarnya apa kelebihan saya dibanding dia?

Dari segi kecerdasan saya kalah dibanding dirinya
Wawasan
Pengalaman
Kreativitas

Saya tak lebih baik dari dirinya. Walau tak sekolah, wawasannya luas. Pengalamannya banyak. Kreativitasnya jangan ditanya. Rasa-rasanya hanya selembar ijazah. Ya selembar ijazah keberuntungan saya yang tidak dia miliki.

Jadi mengapa hanya karena selembar ijazah saya merasa lebih keren darinya? Mengapa? Mengapa? Oh Mengapa minuman itu haram?…hihihi….(kenapa jadi lagunya bang Rhoma kebawa-bawa nih?)

Tanya kenapa?

Karang. Lu kenapa bisa ngelantur jauh banget. Ini resensi atau curhat?!

Hahaha…baiklah kembali ke DUNIA TANPA SEKOLAH

Barangkali buku ini adalah protes M. Izza Ahsin. Seorang anak yang terobsesi menjadi penulis. Dia ingin fokus. Dan tak ingin segala hal sepele membuang waktunya. Kegiatan sekolah yang menghanyutkan ide-idenya menulisnya ke laut.

Ini kisah perjuangan Izza meyakinkan kedua orang tuanya tentang konsep berpikirnya yang barangkali tak lazim untuk kebanyakan orang—apalagi anak seusianya. Bahwa sekolah telah menghambat kreativitasnya. Sementara orangtuanya begitu kuatir akan masa depannya. Izza justru begitu yakin akan dirinya. Dia yakin bahwa orang gagal adalah orang yang berhenti berusaha. Bahwa Tuhan pasti akan memberi keberhasilan pada orang yang terus berusaha. “jika jatuh, aku akan bangun lagi. Jika jatuh lagi, aku akan bangun lagi. Jika jatuh lagi-lagi dan lagi, aku akan bangun lagi-lagi dan lagi. Jika 99 kali jatuh. Maka 99 kali aku akan bangun

Dia ingin total.

Untuk itu dia menurunkan nilainya dari 9 ke angka lima. Agar orang tuanya mengerti bahwa dia sudah tak mau lagi sekolah

Sesuatu yang mengagumkan sebetulnya. Satu-satunya penghalang adalah dia duduk di usia sekolah. Di lingkungan yang mempunyai budaya sekolah adalah nomor satu, yang lainnya baru nomor dua dan seterusnya. Di lingkungan yang menstereotifkan anak yang tidak sekolah adalah anak gak genah

Saya sendiri yakin, Izza akan menjadi penulis yang cemerlang.

Untuk ukuran seorang anak berusia 15 tahun, tulisannya cukup berbobot. Bahasanya ringan dan lancar. Tidak bertele-tele. Penguasaan kosa katanya bagus. Perbendaharaan kalimat yang evokatif juga telah dimilikinya dengan cukup memadai. Hingga apa-apa yang dipikirkannya. Ide-ide yang ingin disampaikannya mengalir menarik.

Berbahagialah anak yang ortunya melek home schooling (deschooling.

Sebab ketika mereka mudah mendapat dukungan orangtua dan fasilitas, Izza harus berjuang mati-matian, bertengkar berbulan-bulan dengan kedua orangtuanya, terutama ayahnya demi untuk mempertahankan prinsip yang diyakininya. Izza memperjuangkan masa depannya sendiri. Menciptakan home schooling dengan metodanya sendiri. Boleh jadi dia lebih tahan banting daripada mereka yang tak pernah mengalaminya. Sebab dia tentu telah mempunyai pertimbangan yang matang untuk menanggung konsekwensi jalan yang ditempuhnya. Dan untungnya kini orangtuanya mendukungnya.

Selesai baca bukunya saya jadi membayangkan kata-kata Izza...“Saat teman-temanku nanti sibuk menenteng-nenteng ijazah buat melamar kerja. Izza sudah jadi penulis terkenal hehehe…”

Ah Izza tekadmu memang luar biasa. terus terang saya jadi iri. Seperti dirimu sebetulnya saya sekolah juga terpaksa. Saya benci sekolah. Membaca kisahmu jadi teringat lagi betapa menderitanya saya menunggu bel pulang selesai. Menghitungi hari dan rasanya bahagia jika sudah hari jumat. Andai bisa memilih. Saya setuju denganmu. Sekolah mungkin cocok untuk sebagian orang, namun belum tentu cocok dengan sebagian lainnya. Harus ada yang berani membongkar sistem gila ini.... biar kaum sekolahmania mencibir Saya kan tetap mendukungmu.... AKU MENDUKUNGMU. AKU MENUNGGU KESUKSESANMU. BIAR KAU BERPIJAR. BIAR MEREKA MELIHAT CAHAYAMU!

Baca. Baca. Baca
Baca. Baca
Baca.

Buku yang jadi referensi menulis resensi ngaco ini :
Dunia tanpa sekolah – M. Izza Ahsin
Siapa bilang “bodo” nggak bisa jadi PENGUSAHA

(saya posting pertama kali di intranet djp)
(Baca Selengkapnya)

Sunday, January 13, 2008

mistic river, novel dennis lehane yang menggetarkan...

Masa lalu adalah masa lalu. Setiap kita punya masa lalu. Lalu seberat apakah masa lalu yang harus kau pikul? Kata orang masa lalu yang pahit laksana buah maja. Yang takkan berkurang karat getirnya meski telah melangkahi ribuan waktu. Tapi bagi Lehane masa lalu yang pahit bagai beban dipundak. Demikian pahit hingga mengental, mengeras dan membatu. Dan makin mengunduk karna ditimbuni waktu itu sendiri. Membuatmu terseok-seok. Namun tak jua bisa kau campakan. Ia begitu rekat seperti bayang-bayang. Seperti kuku yang menempel diujung jejarimu. Seperti kerut buku dalam ruas tulangmu. Dan ia begitu berat. Bagaikan sebongkah batu gunung di punggungmu. Membuatmu terbungkuk-bungkuk. Tertatih-tatih. Tersaruk-saruk. Mengarungi hidup, meraih waktu. Sementara orang-orang sekitarmu telah melesat tak terpikirkan.

Jika ada yang bertanya bagaimana masa lalu mempengaruhi hidup. Mengeret-ngeret seperti rentenir. Memperdaya seumpama penipu. Mencuri sisa umurmu. Mencukuli setiap butir kebahagiaan yang berusaha kau kumpulkan. Meracuni dalam tetes-tetes madu hidupmu, maka Dennis Lehane mempumyai jawab versinya sendiri. Di mistic river ini jawabannya.

Cerita ini berfokus pada tiga orang sahabat : Jimmy Marcus, Sean Devine dan Dave Boyle.

Sean bersahabat dengan Jimmy karena ayah mereka. Ayah Sean dan ayah Jimmy adalah teman dekat. Sama-sama bekerja di tempat yang sama : pabrik permen Coleman. Mereka sering menghabiskan gelas-gelas bir bersama. Sementara Dave Boyle adalah tetangga Jimmy di komplek rumah susun di East Buckingham.

Jimmy yang nakal tak kenal takut. Sean yang pemberani. Dave, bocah lemah yang rada rabun tapi bermulut penuh cerita. Mereka bertiga mengarungi petualangan kanak-kanak. Hingga pada suatu waktu musibah menimpa mereka. Ketika mereka sedang bertengkar di jalan saat hendak mencuri mobil, datanglah dua orang dari sebuah mobil yang mengaku polisi. Dalam suatu muslihat. Dave yang lugu “terpaksa” naik mobil mereka.

Begitulah Dave diculik. Usia mereka 11 tahun ketika itu.

Diluar dugaan Jimmy. Bahkan mungkin semua orang. Empat hari kemudian Dave muncul. Dave Boyle yang lemah, namun dengan kecerdikannya mampu meloloskan diri dari kurungan dua srigala pedofilia tersebut. Semua kembali bergembira. Namun begitukan yang terjadi?

Tidak!

Kehidupan telah terampas dari Dave. Sejak kejadian itu ia bukan hanya harus menanggung trauma mental. Namun juga tekanan psikologis. Menelan semua olok-olok teman-temannya. Mereka bukan hanya mengucilkannya, namun juga menjadikan Dave objek penderita disertai intimidasi fisik. Dua sahabatnya yang diharapkan akan membelanya pun, Jimmy dan Sean, kini enggan berjalan dengannya. Persahabatan mereka runtuh.

Angin menghembus sang waktu. Dan hari-haripun berkelebat cepat seperti halaman buku. Laksana lari kijang muda melangkahi bilangan bulan. Menjejer bilangan tahun. Roda kehidupan terus berputar.

25 tahun kemudian, Sean Devine menjadi seorang polisi negara bagian Massachussets dengan karir yang baik sebagai detektif bidang pembunuhan. Menjalani hidup normal meski kehidupan cintanya kandas, istrinya yang begitu dicintainya, Lauren, meninggalkannya. Rumah tangga yang dibangunnya berantakan, meski dia tak pernah berhenti berharap akan muncul suatu keajaiban dari puing-puing cinta mereka yang tersisa.

25 tahun kemudian, Jimmy Marcus adalah seorang kriminal yang insaf dan mendedikasikan hidupnya demi keluarga yang ia cintai. Ia mempunyai tiga orang anak. Katie Marcus, putri dari istri pertamanya Marita. Nadine dan Sara, putri dari istri keduanya, Annabeth.

25 tahun kemudian, Dave boyle adalah mantan bintang bisbol Don Bosco Technical High School, setelah diberhentikan dari kantor pos tempatnya bekerja, harus jungkir balik bekerja serabutan menghadapi masalah ekonomi. Bisa dikatakan dia masih punya sedikit kebahagiaan menjalani hidup dengan istri tercintanya, Celeste serta buah hatinya, Michael yang berumur 7 tahun.

Namun setitik bahagia, yang merupakan kekayaan paling berharga itu terancam. Sebuah bencana tiba-tiba terjadi. Datang begitu saja tanpa mengetuk bagai tamu tak diundang.

Pada suatu malam minggu yang sial. Jam yang sial. Menit yang sial. Barangkali juga detik yang sial. Sepulang dari Bar. Sehabis menurunkan dua orang temannya, Eve dan Diane. Katie Marcus menyetir pulang sendiri sambil melamun. Tiba-tiba dia melihat suatu sosok. Yang membuatnya membanting stir. Lalu ada sesuatu yang terlindas roda mobil. Barangkali dia telah menabrak seseorang. Kemudian telinganya menangkap suatu seruan. “Hei!, kamu tak apa-apa” seseorang menghampiri Katie Marcus yang telah menghentikan mobilnya.

Esok hari polisi memeriksa mobil Katie Marcus terongok begitu saja dengan pintu terbuka dan aki yang soak karena menyala semalaman. Beberapa waktu sebelumnya Polisi mendapat laporan lewat pesawat telpon dari sepasang bocah yang pertama kali menemukan mobil itu. Ada ceceran darah disana. Diperlukan setengah isi markas polisi negara bagian untuk mencari tau apa yang terjadi dengannya. Dan Sean Devine adalah salah satu polisi tersebut.

Katie Marcus tewas dibunuh seseorang. Ditemukan bersandar dengan lutut tertekuk ke dada dan tangan menutupi kepala di pojok sisi panggung yang menyangga layar bekas bioskop drive-in di taman itu. Tubuhnya penuh luka memar. Ada lubang peluru dibelakang kepalanya.

Seseorang telah membunuh Katie, Jimmy!

Bisa dibayangkan, apa yang terjadi pada Jimmy? Satu-satunya alasan gali seperti Jimmy rela menjalani hidup normal adalah anak-anaknya, keluarganya. Tanpa itu. Bahkan Jimmy lebih menakutkan daripada hewan buas. Kini Katie, putri yang paling dicintainya dibunuh orang. Bagaimana hancur perasaannya. Setelah masa berkabung yang tertinggal hanyalah kemarahan dan dendam. Dendam terhadap orang yang begitu tega menganiaya putrinya hingga tewas.

Dave Boyle mempunyai suatu rahasia.

Di malam yang sama. Dini hari Dave pulang dengan berlumuran darah. Dia bercerita sesuatu pada istrinya, Celeste. Barangkali Dave membohongi Celeste. Tapi adakah kaitannya dia dengan peristiwa pembunuhan Katie Marcus?

Sial.

Hasil penyelidikan Sean Devine dan Whitey Powers, mengarahkan Dave sebagai tersangka. Semua karena keterangan yang diberikan Dave sendiri. Entah kebohongan Dave atau apa. Yang jelas posisi Dave dari saksi kini menjadi tersangka. Sulit bagi Sean Devine untuk percaya akan kenyataan ini. Namun tidak demikian dengan Jimmy. Atas kecerobohan Celeste, istri Dave, yang menceritakannya kecurigaannya pada Jimmy Marcus : bahwa Jimmy-lah yang telah membunuh Katie. Suasana makin keruh. Jimmy saat itu sedang kalut. Mahluk buas yang bisa menjadi monster…itu kini mengaum. Dia menganggap Dave telah membunuh Katie atas dendam dari masa lalu.

Benarkah Dave pembunuh Katie?

Apa Jimmy Marcus akan tega membunuh Dave Boyle? Sahabat masa kecilnya?

Ini novel misteri oleh karenanya saya tak ingin mengurangi kenikmatan Anda yang ingin membaca dengan memberi informasi berlebihan tentang jalan cerita.

Cari saja jawabannya dinovel yang berliku-liku ini!

Dennis Lehane…hmnn…. Dennis Lehane. Ck…ck…ck… novelis ini jempolan punya.

Penulisan novel ini bagai skenario film. Babnya mengandung segmen-segmen cerita per tokoh dalam waktu yang kadang bersamaan. Adegan semua tokoh penting diceritakan secara begitu detil dan halus. Narasinya amat menawan karena dibungkus dengan gaya bahasa yang memikat. Pemilihan kata yang tepat. Untaian kata yang mempunyai kedalaman makna yang sulit dibuat oleh pengarang manapun. Dalam paragraf manapun kualitas itu tak pernah berkurang.

Lehane menulis novel begitu lengkap dan teliti.

Karakter tokoh, plot, gaya bahasa, pemilihan metafora, irama cerita digarap begitu luar biasa.

Cerita yang kompleks dan matang. Dimana unsur psikologis setiap tokoh dikupas begitu mendalam tanpa kebingungan harus diletakkan dimana. (Bagaimana saya harus menjelaskan yah?) Maksud saya adalah kepiawaian mendeskripsikan kondisi psikologis karakter baik dalam bentuk pengalaman maupun pemikiran ada dalam setiap nafas cerita. Membaur dan bersenyawa bukan terselip. Dan gilanya. Semua itu diurai Lehane tanpa membuat orang bosan, malah sebaliknya keasikan. Pengarang lain, saya yakin, mungkin harus harus jungkir balik untuk melakukan ini. Sungguh Lehane seorang pendongeng sejati. Menjadikan tokoh-tokoh khayalan menjadi seolah-olah hidup dan bernafas dalam imaji pembaca.

Dan satu lagi kekaguman saya pada Lehane. Kepiawaian menyambung-nyambung helai-helai cerita. Menariknya dalam satu simpul, yang menuntun arah cerita menuju satu titik penyelesaian. Helai satu dibuka. Cerita mengalir, helai lain dikelim, dengan tanda bagi helai berikutnya. Helai demi helai cerita diurai. Ditempatkan pada tempat yang semestinya. Lalu lehane menarik helai-helai itu. Mengumpulkannya. Begitu mudah bagaikan menstaples sebuah buku. Atau menjahit perca-perca menjadi suatu karya yang fenomenal..

Sukar mencari celah untuk mengkritik novel ini. Barangkali jika saya ingin mengkritik adalah alam pikir para tokoh yang diciptakan Lehane dengan segala kehidupannya yang terlalu dilingkupi masa lalu. Tapi apa boleh itu dibilang sebuah kekurangan? Jika hal demikian menjadi suatu kritik. Maka sesungguhnya kita sedang mengkritik kondisi psikologis masyarakatnya. Bukan sastranya. Hal itu bagaikan kita mengkritik kehidupan nyata. Bahkan diri kita sendiri..

Kalau ada novel yang betul-betul lengkap. Inilah bentuknya. Mistic River. Bagaimana sebuah novel ini dikatagorikan?

Novel misteri?

Saya setuju. Namun bacalah halaman 61, bab yang berjudul Air mata di rambutnya. Betapa manisnya bab itu, betapa romantisnya Dennis Lehane menggambarkan perasaan cinta Brendan Harris pada Katie Marcus. Suatu sisi penggambaran yang bahkan pengarang novel pop romantis pun tak sampai memikirkannya. Sungguh imajinasi yang mengagumkan. Meskipun pada sisi akhir bab menukik menuju tragis dan misterius.

Saya tak pernah membayangkan ada penulis misteri yang begitu romantis dan puitis macam Lehane. Yang menyusun bab demi bab dengan judul puitis. Wah pasti banyak fans perempuan tergila-gila dengan Lehane.

Nyaris semua pokok ada pada novel ini. Roman, kisah cinta, persahabatan, misteri, drama keluarga, psikologis. Semua terikat jadi satu. Dipak menjadi satu paket dalam satu judul yang menjadi setting cerita : Mistic River.

Novel ini telah difilmkan. Disutradarai oleh Clint Easwood dan diunggulkan sebagai film terbaik pada Academy Award 2003. Sean Penn yang memerankan Jimmy Marcus terpilih sebagai Best Actor dan Tim Robbins yang memerankan Dave Boyle terpilih sebagai Best Supporting Actor.

Bagi anda yang telah menonton filmnya. Novel ini masih mengasikan untuk dibaca. Saya tidak sedang memprovokasi. Ini sungguhan! Mistic River memang novel misteri. Namun bukan berarti jika telah tau jalan cerita novel ini menjadi tidak menarik. Mengapa saya bisa bilang demikian. Jalan cerita, misteri di dalamnya hanyalah salah satu dari daya tarik novel ini. Ada banyak kekayaan yang tak anda dapat dari filmnya. Seperti sisi paparan Lehane yang menggugah. Dan entah apa lagi namanya. Saya sukar menjelaskan.

Jadi baca sajalah dan temukan!
(Baca Selengkapnya)

Saturday, January 12, 2008

the class...58....

Ini dia buku yang pernah saya cari sembilan tahun lalu.
Membaca The Class kita dibawa Erich Segal pada suasana kampus Harvard tahun 1958. Suasana belajar yang penuh tekanan. Kompetisi akademis berbaur dengan egoisme dan arogansi intelektual mahasiswanya dalam mengaktualisasikan diri mereka. Kegilaan, ambisi, dan gejolak serta gairah muda para tokohnya yang mengalir liar. Bagaimana anggota 58 kehilangan kendali terhadap diri mereka tanpa mempunyai daya untuk melawan. Tertelan arus yang tercipta bagai badai twister.

Ada berbagai macam kisah disini.

Daniel Rossi, pemuda berperawakan ceking namun berbakat besar sebagai pianis masa depan yang mati-matian berusaha menyenangkan hati sang ayah. Jason Gilbert Junior, pemuda tampan nan atletis yang menjadi pusat sensasi gadis-gadis Radcliffe. Andrew Eliot yang terbebani oleh bayang-bayang leluhurnya. Ted Lambros yang harus berjuang keras mengatasi kesulitan ekonominya agar tetap bisa bertahan di kampus para genius ini. David Davidson yang harus diangkut ke rumah sakit jiwa karena depresi. George keller. Dick Newal. Dan teman-teman mereka harus menghadapi hari-hari keras di sini.

Setiap alumni kelas 58 menyimpan kenangan-kenangan mereka sendiri. Kelas 58 adalah arena mereka bertarung. Mencari jati diri. Mengejar ambisi. Mewujudkan harapan. Melarutkan kesenangan.

Mereka harus berjuang agar eksis.

Agar tetap waras.

Agar tidak menjadi junkies—pecandu obat.

Agar tak mengikatkan kabel telepon ke leher, atau mengiris nadi pergelangan tangan, atau terjun ke sungai Charles. Setelah menang menghadapi semua itu—diri mereka sendiri—barulah mereka bisa mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan ketatnya persaingan di kelas. Seperti kata Erich : hampir setiap dari mereka adalah pembaca pidato perpisahan sekolah menengah mereka. Dapatkah mereka mengulanginya lagi di Harvard. Ada ratusan juara satu di sana. Namun hanya akan ada satu dari juara satu itu yang akan mengulang kembali prestasi sekolah menengah mereka.

Novel ini kilas balik. Tentang kisah yang mereka lalui 25 tahun lalu. Tentang kenyataan yang mereka hadapi kini.

Ini adalah barisan peristiwa. Dimana cerita ada dikenangan para tokohnya yang sedang bereuni. Yang berhasil. Yang biasa saja. Yang tenggelam.

Novel ini penuh warna seperti Dokter.

Sekitar tahun sembilan puluh enam sembilan puluh tujuh saya membaca novel Dokter karya Erich Segal. Dan saya langsung jatuh cina eh jatuh cinta. Langsung saja saya mengoleksi novel-novelnya yang lain. Seperti Love Story, Oliver’s Story (kelanjutan Love Story), Only Love. Padahal sebelumnya saya tidak menggubris sama sekali Love Story walaupun banyak dengar promosinya. Entah dari cover buku itu sendiri. Maupun dari orang yang telah membacanya. Karena saya pikir LS itu sama seperti novel-novelnya Barbara Cartland—saya tak suka novel Barbara Cartland, mohon maaf buat penggemar Barbara. Maka begitu pula anggapan saya terhadap The Class.

Namun setelah iseng-iseng membeli Dokter—saat itu saya tertarik karena tebalnya(sekitar 950 halaman dengan tulisan kecil-keci)l—dan melahapnya. Saya jadi Erich Segal Story’s Mania. Saya kecanduan dongeng chauvinis Harvard ini. Setelah dapat novel-novel lainnya saya pun memburu The Class. Namun…

The class sold out!

Di toko-toko buku nggak ada. Saya heran mengapa tidak dicetak ulang oleh gramedia. Barangkali tidak ada perjanjian cetak ulang dengan pihak penerbit resmi novel Eric di barat sono. Setau saya urusan novel luar nggak segampang novel terbitan karya anak negeri.

Khas Erich segal dalam gaya penceritaan adalah tokoh-tokohnya terkesan angkuh—berbeda dengan tokoh-tokoh rekaan Grisham yang humble nggak jarang pesimis. Agak menyebalkan sebetulnya. Namun narasinya bagus, dialognya sangat kuat dan mengena. Saya jarang mendapati Erich mengumbar kata-kata yang tak perlu dalam novelnya. Setiap dialog rasanya dipikirkan dengan masak. Itu mungkin barangkali sebabnya dia tak menerbitkan banyak novel. Novelnya sedikit. Namun kualitasnya oke.

Mari kita nikmati dialog rekaan Erich Segal dalam The Class. Ini adalah dialog antara Daniel Rossi salah satu anggota kelas 58 dengan petugas sekretariat saat mendaftar sekaligus mencari kerja lowongan kerja sebagai sebagai pianis cabutan :

“Jangan berharap, Nak” petugas sekretariat mengingatkan. “Kami punya sejuta pemain piano yang menganggur. Terus terang, satu-satunya lowongan bagi pianis ialah di tempat-tempat suci. Tapi kau tau sendiri. Tuhan hanya membayar upah minimum” Sambil berkata, petugas itu mengarahkan kuku panjangnya yang bercat merah ke kertas-kertas putih kecil yang tersemat di papan pengumuman. “Pilihlah tempatmu, Nak”

Setelah meneliti secara cermat berbagai kemungkinan yang ada, Dany kembali dengan dua lembar kertas.

Ini cukup bagus buatku” Katanya. “Pemain organ pada hari jumat malam dan satu pagi dibiara malden, dan minggu pagi di gereja Quincy. Apa lowongan itu masih tersedia?”

“Itu sebabnya kertas-kertas itu masih tergantung di sini. Tapi seperti yang kau lihat, roti yang mereka tawarkan sama kecilnya dengan biskuit Rizt”

“Yah” Danny menyahut, “Tapi aku benar-benar harus memanfaatkan setiap sen uang yang bisa diraih kedua tanganku. Apakah banyak permintaan untuk mengiringi acara dansa pada sabtu malam?”

“Wah, kau cukup kelaparan rupanya. Harus menanggung keluarga besar atau bagaimana?”

“Bukan. Aku mahasiswa tahun pertama di Harvard dan membutuhkan uang untuk bayar kuliah”

“Kenapa orang-orang Cambridge yang kaya tak memberi beasiswa kepadamu?”

“Ceritanya panjang” Jawab dany agak canggung. “Tapi kuharap kau tak lupa padaku. Bagaimanapun aku tetap menghubungimu”

“Aku tak akan heran, Nak”

Seperti yang semua orang tau. Kekuatan novel Erich Segal adalah kekuatan dialognya. Erich dapat membuat dialog yang amat memikat hampir disetiap kesempatan dalam novelnya. Menjadi ciri khas Erich adalah ironi yang diciptakannya hingga dialog dibuat satir yang kadang hiperbola dalam kerangka praktis. Dialog ini pula yang mengesankan tokoh-tokoh di dalamnya terkesan angkuh.

Kami punya sejuta pemain piano!

Benarkah ada sejuta pemain piano? –itu hiperbolanya. Bukankah itu mematahkan semangat sang pencari kerja? Itulah tujuannya petugas sekretariat diberi dialog demikian oleh sang pengarang agar tokoh utama tidak berharap banyak dan siap menghadapi kenyataan yang ada.
Dan Erich tak mengungkapkan kecilnya upah dengan cara biasa jika menjadi pianis di gereja. Namun dikatakannya : Kau tau sendiri. Tuhan hanya membayar upah minimum. –dialog dibuat seperti satir rada sinis, namun berkesan hal yang lumrah diucapkan

Maaf. Saya tak berbicara tentang moral cerita novel-novel Erich Segal. Nggak usah dibahas lagi. Buruk. Tidak layak ditiru! : Orang-orang yang nggak percaya agama. Pergaulan barat yang bebas. Membela yahudi—yahudi saat itu banyak dimusuhi dimana-mana, sama seperti kulit hitam. Saya nggak tau apakah dia melihat itu dari kondisi objektif atau ada maksud tertentu. Saya hanya membahas dari segi sastra.

Jika teringat The Class saya teringat novelnya Fira Basuki yang judulnya Biru. Dari segi ide cerita saya pikir Fira terinspirasi novel ini. Ceritanya tentang reuni dan kisah tokoh-tokohnya. Apalagi The class terbit lebih dulu. Bahkan jauh sebelum diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 96-97di barat sono novel ini udah sukses berat. Tapi tunggu dulu. Jangan samakan novel ini dengan novelnya Fira.

LAEN BOS!

Jika anda teliti membaca novel-novel Fira Basuki maka anda akan menemui kenyataan berikut ini : Terlalu mubazir kata-kata. Terlalu bertele-tele. Narasinya yang tak menawan. Dialognya, membahas hal-hal yang tak perlu. Untuk itulah saya sesungguhnya bingung mengapa kakak perempuan saya suka novelnya Fira.

Karena udah kadung ngomongin novelnya Fira sekalian aja kali ya kita bahas kenapa dialog Fira saya bilang boros dan nggak bertele-tele—sekalian numpahin uneg-uneg. Mari kita simak dialog Fira Basuki dalam novelnya yang berjudul Biru. Pada halaman pertama anda langsung disodori :

“Ting tong!!!”
“Mbooook….!”
“Siapa ya pagi-pagi begini?”
“Mana aku tahu bang? Aduh….Mbooook”
“Ya, Nyonya?”
“Mbok, tolong, pintu”
“Ya”
Aku menggeleng-geleng kepala melihat si Mbok tergopoh-gopoh sambil menjinjing ujung jariknya.

Coba anda perhatikan petikan dialog diatas. “Ngerti?”

Jika anda nggak membacanya dua kali atau tiga kali itu bukan karena anda otak anda mengalami redudansi efek—hardisk kalee. Atau anda mengalami gejala dyslexia. Atau karena ada maksud tertentu dibalik dialog itu. Jujur aja teman-teman saya yang lain juga pertama mengalami gejala-gejala yang sama keringatan dan kejang-kejang ringan...hehehe.

“Membingungkan” Cetus Ri

Mengapa demikian? Itu karena dialog tersebut dibuat seperti rekaman keadaan sehari-hari. Tidak jelas siapa bicara dengan siapa.

Padahal dalam sebuah karangan. Dialog itu nggak sama dengan mendengar sandiwara radio. Jika sandiwara radio walo bingung kita masih terbantu intonasi. Tapi dalam karangan? Nothing!
Tanpa penjelasan lebih lanjut kata : bajingan dapat memilki seratus makna.

Barangkali terdapat maksud tertentu yang dapat membuat anda surprise di ending dialog?

Tidak.

Seperti saya bilang tadi, itu adalah dialog yang ditulis pengarang untuk menggambarkan keadaan ketika tokoh-tokoh didalamnya mendengar seseorang memencet bel rumahnya dengan cara yang amat tidak menarik! dari segi estetika.

Lalu sang tokoh menggeleng-gelengkan kepala melihat jalan si mbok yang tergopoh-gopoh sambil menjinjing ujung jarik. Dapatkah anda terka apa maksud sang tokoh menggeleng-gelengkan kepala? Apakah heran melihat ketergopoh-gopohan si Mbok? Bukankah itu adalah reaksi yang normal? Atau si tokoh setengah kesal dengan sang pembantu yang tidak mendengar bunyi bel atau mendengar namun kurang tanggap?

Kalimat ini tak layak ada. Karena nggak logis Ngambang!

Lalu kita lanjutkan pada paragrap berikutnya :

“Aduh! Cindy… tolong kau makan yang benar ya, sayang. Tanganmu yang kena selai jangan kau lapkan ke taplak meja… aduh itu taplak meja bordiran, mahal”
Giliran bang Rahman yang menggeleng. “Mama, makanya meja makan jangan dikasih taplak mahal. Lagipula namanya juga anak-anak…”
“Pa, anak-anak harus diajar disiplin dan menghargai barang. Makanan diberantakin, taplak dikotorin… nanti apalagi?”
“Maaf Ma” Ujar Cindy lirih. Anak berusia tujuh tahun itu menunduk dan kemudian berdiri menuju ayahnya.
“Ya sudahlah. Mana kakakmu?”
“Kayaknya Mita masih tidur” sahut Bang Rahman.
“Tidur? Jam segini masih tidur? Nggak ada kuliah apa?”
“Mestinya ya tidak. Sudahlah Ma biarkan saja”
Aku kembali geleng-geleng.

Bagaimana dialog ini menurut anda?

Menurut anda anak yang makannya masih acak-acakan itu tau bahwa taplak meja bordiran mahal harganya?

Lalu jawaban sang suami tak kalah kurang bijaknya. Alih-alih menjelaskan sang anak dengan cara yang lebih dipahami, malah memarahi istrinya di depan anak. Padahal dilain waktu pembaca diarahkan pengarang bahwa si Aku dan suaminya merupakan pasangan berpandangan dewasa dan berwawasan luas.

Kata berdiri sengaja saya tebalkan. Entah alfa entah lupa diedit. Yang jelas Fira sepertinya kurang teliti dalam kalimatnya. Berdiri menuju ayahnya itu tak logis. Yang logis beranjak menghampiri ayahnya. Pengarang tak usah mendirikan sang anak dari duduknya. Karena pembaca sudah bisa membayangkan bagaimana harusnya sang anak menghampiri ayah, nggak mungkin dengan merangkak.

Lalu jawaban sang suami yang terkesan memanjang-manjang dialog. Pertanyaan “Tidur? Jam segini masih tidur? Nggak ada kuliah apa?” itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan itu hanya luapan perasaan kesal. Sama sekali nggak butuh jawaban.

Dan si Aku geleng-geleng lagi

“Barangkali maksud FB si tokoh “Aku” punya sawan geleng-geleng” Celetuk Ri. Dia terpingkal-pingkal hingga mata dan alisnya menjadi sulit dibedakan..

“Hus!” Aku mendelik.

Tawa Ri susut. “Ups sori” Katanya. Terpahat ekspresi sesal di wajahnya. Maka FB Mania tolong maafkanlah teman saya yang kabarnya masa kecilnya kurang bahagia itu. Begitulah Ri saya yang ekspresif.

Lanjut laghee…

“Ndoro, ini ada surat” Ujar si Mbok.
“Pagi-pagi? Pakai kurir pasti… Apa ya, Mbok?” Tanyaku melihat amplop lumayan besar berwarna biru

Perlukah kalimat kedua? Jawabannya adalah TIDAAAAAK! “Pagi-kurir-nanyambok itu Kagak Perlu. Itu menjenuhkan!” Teriak Ri histeris sambil guling-guling. Maklum obatnya lagi abis.

Dan begitulah yang akan anda temui hampir di setiap halaman dalam novel berjudul BIRU setebal 340 halaman karya Fira Basuki. Nggak heran saya maupun Ri nggak sanggup membaca sampai selesai. Ri hanya mampu setengahnya. Katanya seperti digulag. Saya nggak jauh lebih baik dari dia. Itu juga dengan perjuangan hiduplah indonesia raya, berharap akan ada keajaiban seperti firework in the fair ground! dalam novel tersebut. Namun sampai halaman terakhir nggak ada lotre yang saya harapkan itu.

Yang ada habis baca novel ini, Ri, temen saya stress. Stress karena merasa nggak normal. Kenapa kakak saya suka dia nggak. Dan saya? Saya juga pening karena harus menelan halaman-demi halaman yang membosankan demi rasa penasaran.

Tak heran A.S. Laksana yang pernah membahas dialog dalam novel ATAP Fira Basuki mengatakan dialog Fira mengerikan!

Dan saya bilang dialog novel Biru : HORRIBLE!

“Cukup karang – dan sebaiknya kamu hati-hati di jalan“ Hardik kakak saya.

Iyah.

Buat penggemar novel-novel Fira Basuki mohon MAAF YA. Tidak ada maksud saya untuk menyinggung perasaan Anda. Saya tau membuat novel itu susah. Bukan saya nggak menghargai karya anak negeri. Banyak kok karya anak negeri yang ciamik punya seperti novel-novelnya kang Abik yang sangat kuat pada alur cerita, si Ikal Andrea Hirata yang mempesona dalam deskripsi dan filosophinya yang berbau sains, Langit Kresna Hariadi yang imajinatif. Saya hanya mengkritisi dari sudut pandang sastra. Bagaimanapun setiap karya musti dihargai.

DIALOG.

Apakah dialog sama dengan percakapan sehari-hari.

AS Laksana sebagai penulis menjawab : Tidak.

Saya sebagai pembaca menjawab : Bisa ya. Bisa juga tidak... (kayak iklan aja hehehe…)

Ada unsur estetika dalam dialog. Dan itu penting. Jika hal itu tidak diperhatikan pengarang, sang pembaca yang imajinatif akan mati kebosanan. Sebab dia tak menemukan sesuatu yang greget di dalamnya. Percakapan sehari-hari bisa saja masuk sebagai dialog. Asal mempunyai daya tarik dan sesuai dengan konteks cerita. Jadi tidak semua dialog bisa diposting ke dalam sebuah novel.

Mari kita bandingkan dengan dialog buatan Aditya Mulya dalam Gege Mengejar Cinta.

“Ti. Guah dong nanya”
“Paan?”
“Itu apah?”
“HP”
“Itu apah?”
“Handsfree”
“Kalo gitu kenapa kalo eluh nelpon masih megang hape”
“Ih mao-mao gue dong. Protes aja deh lo“
“Itu tuh handsfree”
“Iyah emang”
“Gunanyah agar hands kita, FREE. Ngapain dipegang?”
“Gue ngerti nih orang-orang kek elo. Waktu kecil kurang temen”


Bagaimana?

Menggelitik bukan.

Itu dialog yang dibuat seperti rekaman percakapan. Hampir tidak jelas tujuan dialog tersebut. Namun ada alasan yang kuat kenapa dialog itu dimasukan Aditya ke dalam novel. Yaitu 1. dialog itu menarik dan lucu sesuai genre novel yang dipilihnya. 2. Dialog itu menggambarkan karakter Gege—sang tokoh utama—dengan pola pikirnya yang kekanakan dan menggemaskan. 3.Kenangan-kenangan Itulah yang menyebab Fathia jatuh hati pada Gege.


Berlanjut di part II....
tulisan ini pertama kali diposting di intranet djp
(Baca Selengkapnya)