.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Tuesday, December 25, 2007

tentang iman sanoso...

Mahasiswa STAN itu aneh-aneh. Ada yang kalo sehari-harinya bolotnya setengah mati. Tapi pas ujian pinternya edan-edanan. Ada yang besok mau ujian bukannya belajar malah nonton tiga film berturut-turut di bioskop seperti Yusa. Ada yang kalo mau belajar setiap dua jam harus nyelupin kepala di kolem. Ada yang malah hobinya nongkrong diterminal ngitungin mobil lewat dinihari. Ada yang besok ujian dua mata kuliah. Malem main truf ampe pagi.

Tapi nggak ada yang ngalahin Iman Sanoso. Menurutku, Iman sanoso adalah seaneh-anehnya mahasiswa STAN.

Dari namanya saja sudah aneh Sanoso. Hampir semua dahi berkerut ketika pertama kali membaca namanya, berpikir telah terjadi kekleliruan dalam penulisan. Semua orang mengira. Sepatutnya SANTOSO. SANOSO apa artinya?

Tak ada yang tau.

Barangkali kesalahan terlanjur terjadi ketika pencatatan di akta kelahiran atau di ijazah SD-nya. Dan daripada susah payah membetulkan lebih baik mendiamkan. Lagipula Sanoso juga kedengerannya keren, berirama unik, berkesan artistik dan barangkali kedengeran seperti nama dari luar Indonesia—apakah betul? Dari negara mana itu?

Iman sendiri tak tau kenapa dia bernama SANOSO. Juga orang tuanya. Juga kakeknya. Apalagi buyutnya. Dulu mereka bilang itu seperti wangsit. Seorang kakek tua berjubah putih dan berjanggut lebat beberapa kali datang dalam mimpi bapaknya. Dan tiap kali tiba dihadapan bapaknya si kakek menyebut :

Sanoso
Sanoso
Sanoso

Begitu pula saat menjelang kelahirannya. Ketika bapaknya sedang terlelap malam itu. Dia kembali mendengar : Sanoso! Sanoso! Sanoso! Dan dia terjaga oleh istrinya yang sedang hamil besar itu mulas-mulas. Begitulah tak lama setelah diantar ke bidan. Atas pertolongan sang bidan ibunya berhasil mengeluarkan dia dari rahim sang ibu. Dan Iman kecil yang baru menghirup udara beberapa menit itu dinamakan Sanoso jadilah dia : IMAN SANOSO.

bersambung...
(Baca Selengkapnya)

Friday, December 21, 2007

in the miso soup

Di pojok Jakarta.
Di sudut mall.
Di sebuah toko buku.

Ketika itu. Jam itu. Menit itu. Detik itu. Terselip diantara orang-orang yang tidakpenting-kurangpenting-danpenting dalam kehidupannya. Dalam garis kemauan yang menjadi derik sensorik. Lalu gerak motorik. Kemudian takdir. Hadirlah dia di sana dalam setting warna sebuah peristiwa.

Dia dan temannya baru saja keluar dari studio dua sebuah twentyone yang memutar film yang membosankan. Film baru bergulir setengah jam ketika temannya mengatakan tiada lagi yang menarik dalam ruang penuh deretan kursi itu. Tawa-tawa penonton lain tak menular pada mereka berdua.

Film itu berisi wajah-wajah bodoh. Tokoh-tokoh idiot. Dialog-dialog dangkal. Jalan cerita yang kabur.

Film itu diomongi dari mulut ke mulut hingga seolah sekelas film titanic atau film yang akan mendapatkan piala oscar. Temannya berharap ada sedikit saja kebenaran dalam omong kosong itu. Tapi baginya memprediksi hal ini lebih mudah daripada menebak sisi mana yang akan muncul dari permainan lempar koin.

Sinema negeriku yang tercinta, bagaimana kudapat belajar mencintaimu, jika kau sendiri tak tau bagaimana seharusnya mencintai dirimu. Kau adalah bayi yang baru lahir kembali. Tak semestinya kau berusaha berlari jika belulangmu hanya kuat untuk merangkak. Kau hanya akan membuat ibumu tertawa sekali untuk kemudian bersedih selamanya. Tulangmu akan bengkok. Lalu jalanmu akan terseok. Orang diluar rumah menatapmu iba. Dan jaman akan meninggalkanmu. Peradaban akan menggilasmu. Lalu kau menjadi luka sejarah.

Barangkali iklan gombal yang membuat penonton itu bisa menikmati adegan konyol yang sama sekali tak lucu itu. Dan menarik ujung saraf tawa mereka semua—kecuali dia dan temannya. Provokasi kadang lebih tajam daripada perintah. Hitler bilang kebohongan yang didengungkan terus-menerus akan menjadi kebenaran. Jaman sekarang propaganda sudah bermalih rupa menjadi iklan. Serta utopia yang menyamar dalam bentuk opini yang ditulis oleh orang yang mencitrakan dirinya sebagai pakar.

“Tak perlu banyak mendengungkan sesuatu pada orang bodoh. Sebab tak susah membuat orang bodoh tertawa. Yang sulit adalah membuat mereka berpikir” Begitu kata gadis yang biasa dia panggil Ri.

Terkadang Ri memang ketus. Tapi pendapatnya sulit ditangkal. Ri cerdas. Sulit membodohi gadis cerdas seperti Ri. Ri memang ceplas-ceplos, namun hanya kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kepada orang lain Ri amat menjaga bahasanya. Dia pernah menanyakan hal ini pada Iman Jaya. Apakah sikap semacam itu termasuk hipokrit.

“Tidak” Kata Iman Jaya. “Menjaga perasaan orang adalah tindakan luhur. Tidak semua orang mampu melakukannya. Apalagi untuk pribadi ekspresif seperti Ri. Namun ada kalanya kau membutuhkan seseorang untuk meneriakkan perasaanmu sejujurnya agar kau bisa tetap seimbang, tak jadi sinting. Dan ini tidak bisa dilakukan pada sembarang orang”

Dia pikir Iman Jaya benar juga. Jika orang seperti Ri disebut hipokrit. Bagaimana seharusnya hidup dengan benar tanpa merasa tertekan. Ri itu lembut dan peka. Bagaimana tega dia mengatakan “Ri. kau hipokrit!”

“Jangan kau minta mereka untuk berpikir. Jika mereka bersedia melakukannya untukmu. Sudah sejak lama mereka jadi pintar oleh kemauan sendiri” Katanya menasihati Ri. “Mereka bodoh bukan karena ber-IQ jongkok. Mereka bodoh karena mereka tak ingin menjadi pintar. Menjadi pintar itu tak penting di negeri ini tau. Yang penting adalah menjadi licik”

“Hei. Kenapa kau jadi sinis” Tanya Ri.

“Aku?”

“Tidak sadar yah?” Gadis berwajah oriental itu memamerkan senyumnya. Giginya yang gingsul bersusun diantara taringnya yang panjang. Barisan gigi yang unik. Dekik samar di kedua ranum pipi. Mata yang nyaris serupa sepasang lengkungan. Seolah ada dua alis kembar yang berkait di sana. Ekspresi itu indah. Keindahan yang sulit diterjemahkan kepalanya. Sudahlah, keindahan itu untuk dinikmati. Bukan dipikirkan.

Dia bisa saja seratus tahun ditempat membosankan itu. Asal bersama Ri. Karena Ri bukanlah kebosanan. Ri adalah hiburan. Tapi Ri tak pernah berpikir menghabiskan barang dua jam untuk sebuah kesia-siaan. Apalagi seratus tahun. Itu sebabnya Ri memilih mengajaknya keluar. Sepertinya Ri telah kehabisan oksigen ditengah dingin yang menyangkut sampai ke tulang.

***
Kini lelaki itu berdiri disitu.
Ri mungkin terselip di rak yang berbeda.

Tempat itu salah satu dari sekian banyak tempat yang telah mereka kunjungi. Dia dan Ri tak pernah bosan untuk datang ke sana. Ada kegairahan tiap kali melihat jejeran buku-buku. Geliat mistis dalam dirinya. Mungkin juga Ri. Mungkin itu yang menyebabkan dia bisa akrab dengan Ri. Buku-buku itu yang bersekongkol mempertemukan nasib mereka.

“Di sana” tempat mereka membuang kebosanan. “Di sana” tempat dia berlari. Disana tempat dia menyendiri. “Disana” itu banyak, bukan ditempat itu saja. “Disana” menurutnya adalah dimana saja ada lautan buku-buku

Perempuan itu mempunyai sepasang mata yang indah. Bola mata yang bening seperti bayi yang baru keluar dari rahim ibu. Barangkali dia tak banyak menyadari hal itu. Tatap matanya yang indah. Berkilau bagai kristal. Orang seringkali menyangkanya memakai softlens. Tapi bagaimana ia harus mengingkari anggapan dalam kepala orang-orang. Biarlah, yang penting seseorang yang harus percaya padanya mempercayainya.

Dipinggir mata itu terekat barisan bulu lentik alami. Dipayungi lengkung alis yang tak tebal. Hidungnya sedang saja. Pipinya seranum kulit apel. Sedikit merona bagai orang kedinginan. Jadi dia tidak susah-susah memberi perona. Rambutnya lurus sebahu, hitam kecoklatan. Seperti dicat dengan selang-seling warna redup. Membingkai wajahnya yang oval. Garis wajahnya lembut. Sore itu dia mengikat rambutnya sebatas leher, hingga sebagian depan sering menjuntai diantara daun telinganya ketika menunduk.

Dia jarang menyadari. Bahwa dia sering menjadi sudut perhatian orang. Barangkali dia tak perduli. Pepatah lama mengatakan. Kau tak membutuhkan seisi dunia. Kau hanya membutuhkan semangkuk nasi dan segelas susu untuk dapat melanjutkan kehidupan.

Gerak matanya efisien. Namun terlihat cermat. Penampilannya klasik, berusaha tidak menarik perhatian. Dia agak terlihat kurus setelah sedikit sakit bulan ini. Matanya tertancap pada tumpukan buku dengan label NEW. Matanya mentok pada sepotong buku yang berusaha menyita perhatiannya…Tangannya terulur

***

“Robekin” bisiknya.

“Mau beli?”

Ri mencibir.

Dia, lelaki itu, amat santai. Sore itu dia memakai jins biru rada cutbrai. Kaos hijau lumut bermotif garis yang nyaris tak terlihat. Tangannya menekuk-nekuk sedikit novel itu. Begitu ada bagian pinggirnya yang sobek dengan tangkas tangannya menarik ujung sobekan itu. Begitu saja. Tak susah kok merobek plastik buku.

“Nih”

Dia kembali pada buku komputer yang dibacanya. Dia sedang melatih daya ingatnya. Dia belajar itu dari Ri. Baginya Ri adalah gadis langka. Hafalannya bagus. Dia mampu mengingat apa yang pernah dibacanya satu dua kali saja.

“Mau cepet hafal?” Tanya Ri pernah. Dia mengangguk ketika itu. “Pertama jangan sering bohong. Kedua mata jangan sering jelalatan. Ketiga jangan sering mikir yang jorok. Keempat belajarlah mengacuhkan suara...” Lamunannya terputus.

“Eh ini kamu yang beli, ya?” Ujar Ri, menyerahkan novel itu kembali padanya. “Bagus kok. Nggak nyesel deh”

Lho?

“Ntar kalo kamu selesai ta’ pinjam”

Apa-apaan ini bocah. Dia yang mau baca, gue yang disuruh beli batinnya. Matanya beralih pada novel ditangannya. Mengamati sejenak. Ilustrasinya aja nggak elit gini… ini sih novel kacangan. Apalagi yang penerbitnya yang biasa nerbitin chiklit, pikirnya. Tapi eh…tunggu dulu. Tangannya membalik novel di tangannya. Matanya membaca sekilas. Sinopsisnya menarik. Apalagi yang ngasih komentar punya kredibilitas oke. Muncul juga suatu rasa penasaran dibenaknya. Tak terasa matanya sudah menyusur halaman demi halaman.

Barangkali sekitar lima menit novel setebal 330 halaman itu dia bolak-balik halamannya. Yak novel ini layak dimasukin keranjang samp…eh keranjang belanja. Ini novel bagus, Ri. Dia menoleh ke sampingnya. Celingukan sejenak. Kemana larinya yah, Elvi Mari…

In The Miso Soup

Kenji tak pernah tau alasan lain mengapa ia mau saja menjadi guide Frank. Tidak, selain ia membutuhkan uang. Memperbanyak tabungannya untuk mewujudkan cita-citanya : pergi ke Amerika. Dia punya mimpi di sana. Dan dia ingin itu segera terjadi. Maka dia harus merelakan tiga malam akhir tahunnya untuk menemani Frank, bule amerika yang menyewa jasanya menjadi pemandu menyusuri kehidupan dunia malam Tokyo.

Dia telah melewati ratusan malam dalam pekerjaannya. Namun tidak pernah menemukan pria seperti Frank.

Sejak pertama menatap sorot mata Frank dia sudah merasakan. Frank bukanlah sebagaimana turis asing yang biasa dihadapinya. Frank pria misterius dengan banyak keganjilan. Frank tidak seperti sosok yang digambarkannya lewat telepon : berkulit putih, gendut, mirip Ed Harris. Frank adalah pria aneh dengan kulit seperti buatan pabrik, atau kulit orang yang mengalami luka bakar. Meski mengaku usianya 35 tahun. Tak ada kerutan sama sekali di wajah Frank. Pipi Frank seperti silikon yang dipakai untuk menyelam. Dingin. Wajah Frank dapat berumur berapa saja : duapuluhan, tiga puluh limaan, empat puluhan, lima puluh tahunan.

Kenji tak pernah tau siapa Frank. Menginap di hotel mana dia. Warga negara mana dia. Yang Kenji yakini pasti nama kliennya itu bukan Frank. Kenji tau pada tiap ucapan Frank tentang identitas dan masa lalunya adalah kebohongan. Meski dalam suatu deskripsi tertentu Kenji meragukan kesimpulannya sendiri. Tapi dia berpendirian. Dia tak boleh mempercayai Frank. Tingkah laku Frank yang aneh dan menakutkan—amat berbeda diantara klien-klien yang pernah dipandunya—membuat Kenji menjadi paranoid. Ditambah lagi kemampuan Frank menghipnotis orang. Barangkali Frank adalah orang yang memotong-motong gadis pelacur yang mayatnya tampil di tivi itu…

Menurut Frank tingkah lakunya yang ganjil karena dia pernah kehilangan otak depannya. Pada usia sebelas tahun Fank mengalami kecelakaan. Kepalanya pecah. Kemasukan kaca hingga dan dokter harus membuang sebagian otak depannya.

“…kadang-kadang tubuhku tak bisa digerakkan seperti tadi itu. Kalau bicara pun, kadang-kadang juga tak jelas. Kadang-kadang pembicaraanku meloncat-loncat” Jelas Frank.

Haruskah Kenji mempercayai ucapan Frank. Mungkinkah itu yang menyebabkan keterangan Fank berubah-ubah, tidak konsisten. Seperti orang yang sering menderita penyakit bohong.

Frank mengambil tangan Kenji dan menempelkan ke lehernya. “dinginkan?” tanya Frank. Memang sungguh-sungguh terasa dingin. Kedengarannya seperti film-film science fiction. Namun bukan berarti dia harus mempercayai cerita Frank bukan. Walau mulai ragu pada kesimpulannya sendiri. Itu tak begitu saja menghapus kecurigaannya pada Frank.

Postur Frank pendek. 162 centi. Sedikit lebih pendek darinya. Tapi tubuh Frank bagaikan terbuat dari logam. Keras dan dingin. Tenaganya luar biasa. Dia bagaikan monster atau semacam robot. Pokoknya Frank mengerikan…

Yak betul!

Ini adalah novel In The Miso Soup (ITMS) karya Ryu Murakami yang saya beli ketika pulang nonton bareng Ri minggu kemarin.

Novel ini berkisah tentang seorang pemuda jepang bernama Kenji, freelance guide yang melewati tiga malamnya yang mencekam ketika memandu Frank, seorang turis Amerika bertubuh tambun dalam menjelajahi kehidupan malam Tokyo

Novel ini penuh ketegangan dan teror mental.

Jika dicarikan sandingannya mungkin Messiah-nya Boris Starling barangkali yah?

Novel ini alurnya runtut dan kuat. Serta mencekam seperti death note. Tempo yang menanjak dengan cepat lalu menukik mengejutkan kemudian berjalan dalam perhitungan birama yang cantik hingga akhir cerita.

Pada beberapa bagian cerita sulit dihentikan, hanya memiliki beberapa jeda. Bahkan mendekati bagian pertengahan pergantian bab bukan berarti membuat suatu jeda, namun sekedar berupaya membantu pembaca menarik nafas. Novel ini menjadi amat hidup dan merasuki pikiran pembacanya karena Ryu menempatkan Kenji sang tokoh utama pada sudut pandang orang pertama (aku). Sehingga pembaca seolah menyaksikan sendiri apa yang Kenji alami.

Membandingkan ITMS dengan Messiah-nya Boris Starling. Apa kelebihannya ya? Barangkali novel ini lebih ringkas. Tanpa prolog panjang-panjang menghujam ke sasaran tanpa basa-basi. Sementara membaca Messiah kita bisa sambil ngopi-ngopi atau makan kue.

Begitu?

“Tentu aja, Rang, dari tebelnya aja juga udah ketahuan. Messiah 640 halaman, sementara ITMS hanya 320” Cetus Ri.

Maksud saya—apa ya? Bagaimana menjelaskannya—novel ini menitikberatkan pada teror psikologis, sementara Boris Starling lebih menitikberatkan pada teka-teki. Jadi tentu dia dapat bermain-main pada banyak halaman. Sedangkan novel yang dibangun dengan teror tidak bisa seenaknya demikian. Sebab harus memperhitungkan tempo untuk dapat mempertahankan ketegangan. Begitulah kira-kira penjelasan logisnya.

Ryu Murakami, pengarang novel ini bagi saya betul-betul luar biasa. Dia dapat menumpahkan naluri gelap manusia yang terpendam, yang selama ini terbungkus dalam angan-angan menjadi kenyataan. Mendeskripsikan metamorfosa kondisi psikologi yang rumit dipahami akibat penyakit sosial secara mendetail dan meyakinkan. Ryu bagaikan seorang pakar kejiwaan yang dapat menangkap penyimpangan prilaku psikologi seseorang akibat efek gelap kelacuran sosial. Kegagalan tranformasi jiwa untuk mencapai kondisi normal membawa manusia kembali menjadi purba. Bertindak, dan menilai melalui naluri dan ketakutan. Suatu sisi gelap yang menakutkan.

Sulit untuk mengingat narasi mana yang dominan. Karena nyaris semua narasi dibangun sama kuatnya. Begitu juga dialog. Dialog tokoh dibuat sedemikian rupa hingga sepertinya tak ada satu karakter pun yang bicara sekedar mengisi ruang dalam cerita. Dialog setiap tokoh adalah sesuatu yang memang seharusnya dilakukan tokoh itu.

Namun untuk sekedar melihat kepiawaian Ryu dalam membangun suasana teror lewat dialog Frank dengan Kenji saya petikan saja dialog ini :

“Malam ini kau kelihatan gembira sekali. Tidurmu nyenyak kemarin malam?”

Frank menggeleng, “Aku hanya tidur satu jam saja.”

“Satu jam saja?”

“Tapi itu tidak masalah untukku. Kalau sel-sel di otakku sedang tumbuh, pada dasarnya aku tidak banyak tidur. Kau tahu tidak? Kalau tidak sedang stress kita tak perlu tidur. Tidur itu bukan untuk tubuh kita. Tapi, untuk mengistirahatkan otak kita. Kalau tubuh kita yang butuh istirahat, cukup berbaring saja. Tapi, otak itu stress dan orang tidak bisa tidur dalam jangka waktu yang lama, seseorang bisa melakukan sesuatu yang kejam dan tidak bisa kau bayangkan sebelumnya.”

Frank mengatakan itu seperti layaknya dialog biasa. Tidak ada deskripsi dari Ryu tentang bagaimana mimik Frank ketika mengatakan pendapatnya tentang tidur. Namun isi dialog itu kita tau, itu meneror. Semacam ancaman terselubung. Saya rasa Ryu juga tidak memberi deskripsi bagaimana mimik Frank mengucapkan hal itu untuk menguatkan karakter Frank. Dan membangun ketakutan Kenji dengan menebak-nebak apa maksud kalimat Frank lewat pikiran pembaca.

Bagi saya sulit mengatakan (kecuali anda membacanya sendiri) bahwa diperlukan pemahaman psikologis yang kuat dan wawasan yang luas untuk dapat menyusun novel seperti ini. Tapi Ryu membuat hal yang sulit itu mengalir begitu lancar. Ryu berhasil menciptakan suasana suram dan kelam begitu kental dalam segala hal. Dari lingkungan. Sikap sinis dan pesimis karakter. Kondisi psikologis tokoh-tokohnya. Sikap sosial masyarakat dan etos kerja mereka.

Kekurangan-kekurangan orang jepang telanjang di depan mata ketika kita membaca novel ini. Ternyata masyarakat kita tak jauh beda dengan mereka. Persoalan yang kita hadapi pun adalah persoalan global yang sama, dekadensi moral. Namun hal itu tak membuat dialog novel ini menjadi kaku. Diantara suasana mencekam itu dia juga menyelipkan humor-humor yang menggelitik.

Mari kita simak pendapat Kenji tentang problem yang dihadapi remaja jepang ketika memikirkan problem gadis seumuran Jun(pacarnya):

…hidup yang lurus-lurus saja itu bukan perkara gampang. Para orang tua, guru, negara mengajarkan kita untuk hidup seperti budak. Tapi, tak ada seorang pun yang mengajarkan kita bagaimana hidup dengan mudah dan biasa-biasa saja.

Membaca novel ini seperti mengembara menjelajahi dunia psikologis tokohnya. Ryu amat piawai menggiring mental pembaca menuju titik dimana imajinasi melampaui kenyataan. Hingga kita berpikir entah di kantor, entah di kos-kosan, entah di terminal, atau disuatu tempat, bisa saja saat kita bertemu dengan manusia seperti Frank. Sungguh mengerikan bukan?

Two Thumbs Up for Ryu. Bintang empat buat novel In The Miso Soup.
Buruan gih baca..

(pertama kali saya posting di intranet kantor djp)
(Baca Selengkapnya)

Wednesday, December 12, 2007

goddamn gay

Suatu ketika, sehabis pulang nganterin Ri dari suatu acara, saya nggak langsung pulang. Berkeliling-keliling motoran. Dan heh, nggak tau kenapa. Tiba-tiba saya sudah berada di lobi sebuah bioskop. Saya duduk bersandar setengah rebahan. Mata kerjap-kerjap—emangnya boneka baby. Iyah saya ini mau nonton, tapi masih ragu ama filmnya. Karena rada mengantuk maka saya tidur-tiduran. Merem-melek-melek-merem.

“Mas”
“Mas”

Awalnya saya tak menyahut. Saya pikir sapaan itu bukan untuk saya. Tapi setelah beberapa kali. Saya merasa barangkali untuk saya. Maka saya membuka mata.

Seorang lelaki. Tinggi menjulang. Barangkali sekitar seratus tujuhpuluh delapan. Posturnya atletis dengan kaos dan jeans serta bertopi ‘bulls’. Meski penampilannya sederhana namun harus saya akui. Dia lumayan tampan. Kulitnya bersih, potongan rambut pendek, garis cambangnya yang panjang tercukur rapi. Siapa? Mo ngapain? Mau ngapain ini orang negur saya? Saya nggak kenal sama sekali ama orang ini.

“Mas. Mo nonton?”

Entah mengapa saya ngangguk.

“Kebetulan”

Apanya yang kebetulan? Kening saya barangkali berkerut tiga ketika itu.
“Saya punya tiket dua nih Mas. Tadinya sih saya mo nonton bareng temen saya. Tapi karena dia nggak bisa dateng….”

“Maksudnya?” Potong saya rada curiga.

“Maksudnya daripada tiket ini nganggur…yeah buat Mas aja…”

Sempat saya memandangi orang itu agak lama. “kenapa ke saya? Coba tawarin ke yang lain aja” Tukas saya agak ketus. Entah kenapa saya merasa nggak nyaman dengan tatapannya. Bukan takut. Tapi aneh. Lagipula saya lagi malas buat ngobrol. Ama cowok lagi walah… kalo cewek cakep sih mau hehehe…

“Yah barangkali karena saya sregnya ama Mas” suaranya terdengar lagi.

Sempat saya ragu. Beberapa kali saya coba menangkap matanya. Saya tak menangkap ekspresi aneh disana. Okelah, pikir saya. Toh hanya nonton. Kenapa sih saya terlalu curigaan ama orang. Don’t talk to stranger! Kata sebuah film yang pernah saya tonton ketika saya kecil. Yang seringn kebawa-bawa hingga kini. Hei! Wong saya ini dah gede. Mo ngapain dia? Kalo macem-macem—hajar aja. Meski dia lebih besar dari saya. Saya nggak takut. Lha ini tempat rame…

“Ok” Kata saya. “Tapi saya lagi males ngomong” Lanjut saya menegaskan—buset galak banget.

“Nggak masalah”

Saya pun nerima tiket bioskop yang disodorkannya.

Nggak tau kemana setelah ngasih tiket itu, dia kembali menghilang. Sempat juga sih saya celingukan. Ah perduli lah…

Sampai studio dibuka. Dan orang-orang diancam masuk. Saya nggak ngeliat batang hidung si Mr. Topi. Malah enak pikir saya lega. Saya pun mencari nomor kursi. Sialan dipojok! Halah gratis kok mau enak? Saya pun melanjutkan langkah. Tapi alangkah terkejutnya saya begitu melihat ke arah kursi saya. Si Mr. Topi udah ada disitu. Kapan masuknya? Kayak adegan film horor…

Si Topi tersenyum.

Barangkali buat mata cewek senyumnya itu manis. Tapi bagi saya nggak. Entahlah, meski dilanda perasaan aneh saya terus menuju kursi saya—yang pasti ada di sebelahnya. “Kapan masuk?” tanya saya. “Barusan” dia menjawab. Saya pingin tanya ‘kok saya nggak liat’ Tapi urung karena saya liat tangannya menawarkan sesuatu. Popcorn dan softdrink.

Buset, pikir saya. Nonton ama Elvi Mari aja saya nggak pernah kepikiran buat beli jajanan. Kalo laper paling Ri atau saya yang ngajakin makan di luar. Tapi belom pernah ada sejarahnya kami ngemil sambil nonton.

“Nggak. Makasih” sahut saya sambil menggeleng, kali ini suara saya agak melunak. Nggak enak juga terus-terusan bersikap ketus dan curiga ama orang yang terus-menerus bersikap ramah. Terus terang, walaupun sikap saya melunak namun itu tak menghapus kewaspadaan saya. Nawarin makanan, minuman ditempat begini. Hii jangan-jangan tuh minuman udah disuntik lagi. Saya keinget berita-berita tentang korban pembiusan dengan modus menawarkan minuman. ‘Hei Bung, Lo pikir gue goblok?!’ Batin saya.

Nggak lama film mulai.

Adalah kebiasaan saya nonton film dengan serius. Walo belajar saya nggak serius. Tapi nonton film saya serius. Walo ngerjain ujian saya nggak serius. Tapi nonton film saya serius. Walao makan nasi saya tidak serius. Tapi nonton film saya serius. Walau halah…

Pada suatu ketika, entah dimenit keberapa saya menyadari kembali keberadaan diri saya kembali. Saya sedang duduk didalam gedung bioskop dengan kepala terkulai miring dan mata melotot ke depan. Lalu, heh, saya menyadari ada yang keras menyentuh kepala saya dipinggiran bangku. Saya menoleh.

Kepala si Mr Topi.

Sandarannya miring ke arah kepala saya. Menyadari hal ini saya menarik kepala saya. Duduk saya tegap seperti sikap personil waffen SS. Atau sikap seorang lelaki perkasa, yang betul-betul maskulin. Beberapa saat saya coba mempertahankan posisi. Andaikan jatuh saya ingin kepala saya terkulai ke arah yang berlawanan dengan si Mr. Topi.

“Dingin ya, Mas?”

Saya tak menyahut. Dari ekor mata saya, saya tangkap dia sedang menggosok-gosokan tangannya. ‘Salah lu sendiri! Nonton ditempat begini cuma pake kaos begitu!’ Sahut saya dalam hati tapi. Beberapa saat kemudian saya kembali hanyut oleh jalan film. Ketika film sedang dalam keadaan seru saya sempat terhenyak.

Ada tangan terkulai dilutut saya. Nah lho!

Sempat saya melongo beberapa saat. Lalu mata saya beralih pada sang pemilik. Matanya melotot ke depan. Saya tak melihat ada unsur kesengajaan disitu. Maka dengan cara tak menarik perhatian saya singkirkan tangan itu dari lutut saya.

Saya pun kembali asik terlena dalam adegan penyiksaan—saat itu saya memang sedang nonton film thriller. Saat saya hendak bergerak karena merasa cukup pegal saya sempat terhenyak.

Astaga naga.

Ada tangan sudah melingkar dibahu saya. Ada tangan melingkar di bahu saya sodara-sodara! Sialan! Motherfucker! Orang ini gay. Saya menyingkirkan tangannya dengan amat kasar.

“Maaf, Mas. Dingin” ujarnya tanpa rasa bersalah.

“Dasar gay sialan lu!” Saya geram. Bangkit lalu segera keluar. Beberapa penonton menoleh pada saya. Bajingan. Damn-gay!!!

***
Ri terpingkal-pingkal dengan laporan saya ditelpon. “Jangan ketawa kamu!” bentak saya gusar. Tapi suara Ri malah makin terpingkal-pingkal. “Habis potong rambut bukannya didatengin cewek. Malah disamperin gay! Nasib-nasib…”

Heran. Nggak habis pikir saya. Kenapa gay akhir-akhir ini makin banyak aja berkeliaran.
(Baca Selengkapnya)