.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Friday, May 9, 2008

gelandangan dunia (ode buat bubin lantang)

Hei Dunia

Apakabar?!

Awal Februari 2006—setelah kelar cuti, mengambil master of sciencenya dari Rijksuniversiteit Groningen, Belanda dan studi ekonomi di Uppsala Universitet, Swedia—dia kembali ke Indonesia. Pimpinan langsung menugasinya ke Batam dengan alasan ekspansi peliputan. Namun dia tau, itu hanya sebuah pengusiran buat dirinya. Buah dari ulah ‘nakalnya’ dulu menggebuki para koruptor BLBI dengan berita ekonomi yang dia tulis. Banyak yang gerah tentunya. Barangkali pimpinannya di Kompas tak mau berurusan dengan permainan bejad koruptor yang banyak duit dan chanel, yang mungkin bisa mengganggu stabilitas perusahaan koran beroplah terbesar di Indonesia itu.

Dia menawar untuk diberi tempo 3 bulan karna ada urusan pribadi yang betul-betul mendesak. Namun ditolak. Pimpinannya bersikeras dia harus segera angkat kaki dari Jakarta, berangkat ke Batam saat itu juga.

Jika melihat wajahnya yang persegi. Dengan tonjolan tulang pipi, yang melukiskan keras wataknya. Barangkali sukar baginya untuk mengalah atau istilahnya berkompromi. Sebab dengan loyalitas yang dia berikan bertahun-tahun. Semua itu hanya berbuah hal yang menyakitkan : Pengusiran!. Maka tak ada jalan, pikirnya : I’m out! Itulah keputusannya. Bulat! Tak bisa ditawar. Tak bisa ditarik. Tak bisa diganggu gugat.

Teman-temannya mengira dia keluar dengan pesangon yang besar, sebagaimana wartawan lain yang mengundurkan diri karna suatu hal dari tempatnya itu. Padahal, dia resign dari sana tanpa pesangon sepeser pun, setelah bertahun-tahun bekerja. “For nine the f****ng years, I'm glad I quit” katanya satir “Jurnalisme for sale!” Tukasnya, begitulah kira-kira akhirnya dia berkesimpulan.

Tak ada yang menarik lagi buat lajang 35 tahun itu buat tidur pulas di bumi Indonesia, negeri yang indah dan kaya, namun penuh kebobrokan dan kemunafikan. Dimana yang berkuasa hanyalah duit dan kekuasaan. Dimana sedikit kelompok orang bermegah-megah dengan gedong-gedong dan mobil-mobil mengkilap dari penggelapan utang LN. Sementara berjuta kepala hidup dalam kefakiran hingga mati kelaparan, dibebani bertumpuk utang negara yang tak pernah mereka nikmati.

Suck!

Kini lelaki yang hobi traveling dan fotography ini lebih memilih hidup nomaden. Mengembara dari satu tempat, ke tempat lainnya di pojok-pojok dunia. Dulu dia blusukan di ujung-ujung bumi sebagai wartawan. Berburu berita. Rusia, Korea, Belanda, Roma, Italia, dan berbagai tempat lain di penjuru dunia, hingga Helsinki, tempatnya si Rosa Liksom sastrawan generasi funk Finlandia yang dingin, pernah dipijaknya (sayang saya nggak tau. Coba tau saya pingin titip pesen ke Rosa supaya maen-maen ke Indonesia hehehe…).

Sekarang dia sedang menikmati hidupnya sebagai gelandangan. Melakukan petualangan absurd dari tempat ke tempat. Menjadi manusia nomaden abad 21. Menjelajah pelosok bumi sebagai pengembara. Selepas ngerjain proyek riset dari Bank of America, dia pindah dari Manhanttan yang gemerlap ke Brooklyn yang sepi, dari unit apartemen tipe studio di wilayah Chelsea itu ke apartemen tua dua kamar di Avenue H yang berada persis di tengah-tengah komunitas Yahudi dan Pakistan. Setelah itu hidupnya terus berpindah pindah. Berbagai pekerjaan kasar pun dilakoninya. Dia bilang barangkali dia masterofsience yang tukang cuci. Kata temannya, mungkin the frustrated-insecure-neurotic-emotional-andthemost stubborn ini mo jadi Johnnie Walker from Indonesia.

Hahaha.

Jika Anda googling satu ato satu setengah taon yang lalu, nyari informasi pribadi tentang dia. Mungkin lebih susah daripada nyari jarum ditumpukan jerami. Dia seperti menutup seluruh akses kehidupan pribadinya. Termasuk masa lalunya ketika masih jadi penulis fiksi remaja. Paling yang bisa disimak hanyalah liputan ekonominya di kompas.

Matanya sipit. Rautnya chines. Nggak heran, salah seorang temannya dari Indonesia yang ketemu waktu kuliah di Gronigen, pertama nyangka dia dari negeri China. Eh taunya dari bumi Tanjungkarang, nusantara. Satria nusantara dong. Hehehe… Mungkin karna hobi masak, pria satu ini begitu care ama dapur. Temennya bilang, sewaktu kuliah di Gronigen dulu. Nggak ada orang yang berani ngotor-ngotorin dapur. Karena akan segera muncul secarik kertas bertuliskan, "Your Mother is not here. Clean your own belongings..." Nggak China, nggak Vietnam, Nggak Bule, keder semua sama dia.

Tunggu.
Tunggu.
Tunggu.

Emang, siapa sih yang sedang lo omongin panjang kali lebar, ampe jeriji tangan lu pada keriting, Rang?

Kalo saya bilang Ferry Irwanto mantan wartawan ekonomi Kompas. Pasti akan banyak kerut dijidat pembaca. Tapi kalo saya sebut : bubin lantanG. Nah-nah-nah, yang dulu melewatin masa remajanya pernah melototin Hai jaman taon 90-an pasti bilang : “Oh si bubin tengil itu…! Yang bikin Anak-anak Mama Alin… Gue kenal bro! Gue kenal, bajingan, itu pengarang pavorit gue!”

“Jadi si bubin yang lo omongin?! Masih hidup dia?”

Husss! Nggak sopan!!!

HAHAHA…

Dasar bubin!

Sok misterius!

Bayangkan setelah bertahun-tahun mengagumi, saya baru tau namanya baru-baru ini. Bisa jadi namanya sering sering saya lihat di ujung artikel warta ekonomi. Tapi siapa sangka itu si bubin lantanG dari masa remaja saya. Lahir 27 Mei 1972 di Tanjungkarang, Lampung. Bisalah kita memanggilnya om Ferry atau om bubin terhadap pribadi unik ini.

“Itu karya-karya onani yang membuat saya ingin menenggelamkan kepala dalam krah baju setiap kali mengingat kenaifan masa muda” Kira-kira begitu inti pengakuan dia dalam blognya.

Bisa jadi seperti kata si bubin sendiri, bahwa karya-karyanya itu memang naif. Tetapi tak dapat dipungkiri, paling tidak cerita-cerita si bubin banyak mewakili identitas remaja pada jamannya. remaja yang terpinggirkan. Remaja yang memberontak. Remaja yang bukan anak mami yang manja. Seorang remaja yang berusaha kritis dan bertahan dengan idealisme moral yang kadang saling berkontradiksi. Mungkin dengan kacamata kita sekarang, kita akan tersenyum atau sedikit tertawa satir membacanya. Tapi begitukah keadaan yang terjadi dulu? Bagaimanapun kisah-kisah rekaan si bubin ini memberi warna di benak remaja temponya dalam memandang dunia mereka yang muda. Jiwa mereka yang hijau, belum teruji.

Bolehlah dianggap karya Gola Gong dan bubin ini adalah penyeimbang yang berdiri bersebrangan dengan karya Hilman dan Zara Zettira cs yang menceritakan kehidupan anak orang kaya. Karya GG dan bubin (walau tak sealiran) boleh dibilang berdiri dikutub sama dan berlawanan dengan genre yang diusung Hilman dan Zara Zettira ZR cs. Namun demikian apapun alirannya, jika dibandingkan teenlit sekarang. Karya GG, bubin, Hilman, Zara dkk jauh lebih berkonsep dibanding teenlit sekarang yang hadirnya seperti sinetron. Hanya rentetan peristiwa tanpa konsep moral yang jelas. Jadi jangan bandingkan karya si bubin dengan teenlit sekarang. Jauh. Jauh ampe nyebur ke laut kali.

Balik ke bubin.

Suatu ketika ada beberapa orang temannya yang bertanya, kenapa dia tak mulai membuat fiksi lagi. Tapi dia bilang, fiksi itu masa lalu. Dia tak ingin mengungkit-ungkitnya lagi. Namun tak kenal lelah seorang teman dan adiknya membujuknya untuk tampil lagi. “Banyak penggemarmu yang rindu karyamu, bung!” Bujuk mereka. “Kalau tidak percaya coba kau tengok saja di internet!” Barangkali begitu provokasi mereka. Maka iseng-iseng dia melakukan googling.

Jreng!

Ternyata mereka tidak berdusta. Memang lumayan banyak yang membicarakan karyanya dulu. Mereka rata-rata menyatakan kangen. Bahkan ada seorang blogger yang membuat cerpen terinspirasi dari karyanya : Serial Anak-Anak Mama Alin. Cerpen tersebut berkisah tentang seorang anak yang mempunyai ibu yang terobsesi dengan serial Anak-anak Mama Alin yang ditulisnya. Dian Bara nama sang anak, nama yang diambil dari satu dari tiga kembar anak-anak Mama Alin rekaannya. Alkisah ibu sang anak. dulu penggemar serial legendaris itu. Sang ibu mengkoleksi semua novel-novelnya. Namun suatu ketika terjadi musibah kebakaran yang menimpa rumah mereka. Semua novel koleksi itu ikut musnah dilahap api. Sang ibu berupaya mendapatkan kembali novel kesayangannya itu. Namun sayang, tak ada lagi toko buku yang menjualnya, karna novel tersebut tak dicetak ulang. Setelah mencari tak juga ketemu, akhirnya dia mendengar kabar ada yang menjual novel-novel tersebut disebuah kota. Maka berangkatlah sang ibu ke kota tersebut. Namun sayang sang ibu kecelakaan dan meninggal.

Baiklah : I’ll be back!

Atas usul daripada yang mana sebaiknya saja teman-temannya, dia pun bersedia dibuatkan sebuah blog di wordpress (http://bubinlantang.wordpress.com), sebagai media komunikasi resmi. Namun karna hidupnya nomaden dan koneksi internet nggak akan mudah didapat, maka blog itu nggak akan sering dia isi. Selain karna dia nggak suka menulis dalam bentuk blog, karna dia bilang dia lebih suka dalam bentuk gambar? (nyambung nggak). Maksudnya dia kagak seneng nulis blog, itu aja. Tapi dia senang fotography, dia sering memajang karya-karya jepretannya itu di webshot.

Sampai dengan kemarin alamat sementaranya di Seattle, namun hari ini dia bilang di Newyork. Wah-wah-wah. Keren-keren. Going terus, Bos! Buset. Katanya benci Amerika, Om? Tapi hidup memang sukar diterka. Kemana arah angin akan bertiup, ya!

O. iya kabar-kabarnya. Dia udah ngerampungin sebuah novel. Lagi sedang nyari penerbit. Rupanya sudah siap lagi terjun ke fiksi, Bin? Semoga sense nulis fiksi kamu masih setajem dulu (bahkan lebih).

Buat yang belom kenal bubin lantanG dan karyanya. Nih saya kasih info tentang dia dan karya fiksinya :

1. Emak Bilang Kami Tidak Miskin!
2. Serial Anak-Anak Mama Alin yang dibukukan jadi 4 buku (potret potret, tentang tentang, nafas nafas, jejak jejak)
3. Bila (Novel yang ditulis duet bareng Dian Bara. Ternyata Dian Bara itu diambil dari nama temennya hahaha…)
3. Cerbung berjudul Kami

Entah mengapa si bubin seneng banget ama tragedi. Hampir rata-rata cerita yang dibuat memiliki tragedi yang mirip diujung ceritanya. Kelainan jiwa kali tuh si om….

Tragedi apa sih?

Buat yang belom baca dan penasaran. Baca aja tuh yang saya sebutin diatas…hehehe
karangs@ti
at kemanggisan,05052008
(INTRANET DJP)
(Baca Selengkapnya)

the other side of me... (memoar sidney sheldon)

Hidup seperti novel kan? Penuh ketegangan. Kau tidak tau apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya

Apa yang akan anda lakukan ketika mendapati anak Anda akan bunuh diri?

- Panic -

- Menceramahinya? -

- Membawa ke psikiater? –

Paling tidak anda akan mendapat pencerahan dengan sepenggal pengalaman Sidney Sheldon. Barangkali ayah Sidney hanya seorang salesman berupah rendah. Tapi sebagai orang tua dia tidaklah kacangan. Dia tau, dan mengerti bagaimana watak anak-anaknya meski dia tak harus selalu tau masalah yang dihadapi anak-anaknya. Hingga ketika sang anak ditemuinya bermasalah, dia dapat mengambil tindakan yang bijak dan tepat.

Barangkali memang Sidney tidak yakin untuk memilih mati. Dan kita bilang, bukan takdirnya. Atau itu memang yang sering dialami penderita manic depresif, kesedihan yang menukik tiba-tiba. Akumulasi dari kumpulan yang menghantam tiba-tiba. Kesepian, kesedihan, kegagalan, ketakberdayaan. Ataupun kekosongan yang datang begitu saja. Ya apalah katamu Rang…

Inilah kisah si Jago Cerita Se-dunia. Yang ditulis dengan tangannya sendiri. Seniman multi talenta. Seorang pianis, pengarang lagu, penulis opera legendaris “broadway”, produser film, penulis skenario, sutradara. Dan tentu saja penulis novel!

Tell me your dream, Don’t be afraid of dark, Bloodline, Rage of Angelsdan yang lainnya yang telah ditulisnya membuktikan dia pernah ada dan menjadi seorang tokoh tukang cerita kelas dunia. Film-filmnya, karya-karyanya yang pernah dipentaskan Broadway. Musiknya. Telah menjadi sebuah sejarah dalam dunia satra dan seni.

Dia seniman yang menyandang bigname. Namun membaca memoarnya kita akan terkagum-kagum dengan pribadinya yang humble. Sudah jadi rahasia umum—pun saat itu—Hollywood adalah simbol kegilaan. Biang kebobrokan. Perintis dekadensi moral. Penyebar gaya hidup hedon. Dan rasa-rasanya pribadi seperti Sidney Sheldon tidaklah banyak diantara sekian manusia yang bercokol di sana. Menjadi orang “bener” diantara orang sinting tanpa dicap aneh.

Memoar ini 447 halaman. Namun tampak tipis kertasnya kertas buram bukan hvs. Sayang, tidak bisa lebih tebal lagi. Seribu halaman pun saya takkan lelah membaca. Sidney mengemas memoarnya dengan gaya penceritaan novel. Humornya tersebar dimana-mana. Pengalamannya yang luar biasa digarap dengan begitu menggelitik, tak jarang saya tertawa sendiri.

Sebagaimana kisah kebanyakan pengarang-pengarang terkenal. Jaman susah pun pernah dilalui Sheldon.

Pribahasa “tak ada kesuksesan yang jatuh dari langit” pun tak terkecuali bagi manusia multitalenta ini. Setelah upaya jungkir baliknya terasa sia-sia tak membuahkan hasil. Sidney akhirnya berpikir barangkali sudah waktunya dia bersikap realistis. Angkat koper, pulang ke kampung halaman dan melupakan mimpi-mimpinya menjadi penulis, jika saja dia tak mendapat dering telepon keberuntungannya pada suatu sore.

Bagaimana kisah Sidney merebut kesempatan masuk dunia kepenulisan dengan cara yang rasa-rasanya mustahil bagi orang lain : membuat sinopsis novel setebal empat ratus halaman, sebanyak tiga puluh lembar dengan hanya tempo waktu kurang dari setengah hari, tanpa keahlian mengetik, tanpa membaca novel itu sebelumnya? Dan tulisan sinopsisnya sekelas penulis profesional? Bagaimana dia mensiasatinya!

(…aku tidak punya transportasi. Aku mengetik sebelas jari, dan mengetik sinopsis tigapuluh halaman akan memakan waktu sampai kiamat, dan sampai kiamat itu bahkan belum waktu membaca novel setebal empat ratus halaman…)

Edan!

Orang lain mungkin akan menyerah dan memilih pulang kampung menghadapi hal yang mustahil tersebut. Namun Sidney mempunyai sebuah rencana dalam kepalanya.

Anda ingin tau cara agar 108 memberi alamat?

Tanya pada Sidney. Dengan kecerdikannya menjebak-jebak kalimat, Sidney dapat membodohi operator telepon hingga menyebutkan alamat tanpa sadar. Cari tau cara dia mengakali kebijakan menyebalkan perusahaan telpon yang melarang operatornya menyebutkan alamat.

Bagaimana orang yang piring sendi punggungnya sewaktu-waktu dapat tergelincir dan mempunyai penglihatan minus berhasil jadi pilot?

Kisah tes mata Sidney Sheldon ini telah membuat saya terpingkal-pingkal. Betul-betul konyol. Dan gokil. Ingin sekali saya menceritakan pada Anda, betapa sedengnya ulah Sidney mengelabui dokter mata. Namun tentunya akan mengurangi keasikan anda ingin membaca memoar ini.

Selalu INOVATIF!

Sidney selalu mempunyai cara yang unik dalam apapun yang dikerjakannya. Bahkan sewaktu menjadi tukang teriak bioskop pun dia sudah kreatif.

Beberapa hari setelah aku mulai bekerja sebagai tukang teriak, bisnis di gedung bioskop mulai terangkat.

Aku berada diluar, di luar gedung bioskop sambil berteriak, “Anda tidak akan mau melewatkan conquest, yang dibintangi Greta Barbo dan Charles Boyer. Dan satu lagi hadiah buat anda—Nothing Sacred, dengan Carole Lombard dan Fredric March. Inilah pasangan kekasih terhebat di dunia, yang akan mengajarkan kepada anda cara menjadi pasangan kekasih hebat. Dan karcis masuknya cuma 35 sen. Dua pelajaran cinta seharga 35 sen. Inilah tawaran termurah abad ini. Cepat, cepat, cepat. Dapatkan karcis Anda sekarang!”

Dan para pelanggan berdatangan.



“Dimana anak sialan dari Chicago itu?”

“Kenapa?”

“Manajer jaringan gedung bioskop RKO menyuruh setiap tukang teriak yang kita punya untuk datang dan melihat anak sialan itu dan melakukan apa yang dilakukannya”

“Akan kuberitahu dia kalau dia sudah kembali”

Aku membalikan badan dan berkata dengan suara percakapan biasa. “Tempat terbatas. Jangan sampai kehabisan tempat duduk. Tempat terbatas di dalam”


Ikuti pengalaman edan-edanan Sidney Sheldon yang seru, lucu serta kadang mengharukan dalam memoarnya yang singkat.

SEBAB?

Sebab tak ada yang biasa dengan Sidney. Apapun yang dilakukannya. Apapun yang dipikirkannya. Apapun yang ditulisnya. Begitupun dengan memoarnya. Kita dapat terpingkal-pingkal di sini ataupun turut bersedih bersama semua yang pernah dialaminya. Mulai dari penggantian nama dari Sidney Schectel menjadi Sheldon. Pengalaman unik dengan orang-orang sedeng hollywood sampai kisah sedih kehilangan anak. Dan kisah unik ketika mengunjungi pelosok dunia dalam rangka riset pembuatan novelnya. serta kisah-kisah lainnya.

Barangkali ketika menulis memoar ini Sidney telah merasa akan segera pergi. Maybe this the right time to die. Karena cita-citanya semua telah kesampaian. Dan karya-karyanya, paling tidak tetap hidup dalam kepala para penggemarnya. Dan perjalanan hidupnya telah menjadi sejarah yang terekam entah dalam tinta atau dalam pita seluloid atau pun dalam keping dvd.

Selamat jalan Mr. Sheldon!
(Baca Selengkapnya)