.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Friday, February 27, 2009

dari novel q & a ke film slumdog millionaire


Yup saya baru nonton Slumdog Millionaire yang katanya menangin 6 katagori oscar itu. Sebetulnya sih bukan barusan. Melainkan sabtu kemarin. Cuma nulisnya baru sempet sekarang hehehe… Adapun yang bikin ambisi saya meletup-letup untuk nonton film ini tuh bukan karna nih film masuk nominasi award. Tapi karna nih film adalah adaptasi dari novel yang berjudul Q & A.

Saya baca novel perdana karya Vikas Swarup ini sekitar 2 tahun yang lalu. Kalu nggak salah inget Desember 2006. Sebuah novel yang saya ambil dari display karna tertarik pada covernya yang sederhana. Sebetulnya hanya sekedar liat-liat. Karna pengeluaran beli buku saya udah over limit bulan itu. Jadi andaipun ada novel bagus, saya hanya akan membelinya setelah gajian. Selain dirumah beberapa buku yang saya beli belon kebagian waktu santap.

Namun niatan saya yang hanya liat-liat itu berubah takala membaca beberapa lembar halamannya. Oh damn, novel ini wajib dibeli. Tepatnya wajib saya beli. Sekarang. Bukan ntar-ntar apalagi besok-besok. Terlebih nunggu gajian. Karna apa? Karna saya tak bisa menghentikan membaca. Sedangkan toko buku ini sebentar lagi akan segera tutup.

Maka meskipun saat itu saya lagi kena penyakit bokek pangkat dua belas, saya tetap bersikeras membawa novel itu ke kasir untuk ditukar dengan lembar isi dompet saya yang bulukan itu.

Saya yakin, walo keliatannya promosi novel ini kurang, sudah banyak bookworm yang baca novelnya. Buktinya resensinya aja begitu saya googling tersebar di mana-mana.

Novel Q & A ini sungguh beda dengan sekian banyak novel yang pernah saya baca. Idenya brillian. Penuturannya tangkas dan memikat. Ceritanya sangat imajinatif. Sampai-sampai saya tak sabar untuk membalik halaman demi halaman berikutnya.

"Novel ini sukar dihentikan, sebab begitu lo baca dia minta diladeni sampe habis. Kalo nggak lo sendiri yang akan penasaran" temen saya memprovokatori temennya, alhasil pada belilah si kutu-kutu itu.

Maka ketika saya diberitau oleh bunda ufa, bahwa salah satu novel yang pernah saya iseng resensikan di intranet djp ini difilmkan dengan judul Slumdog Millionaire, saya segera mencari tau, Slumdog Millionaire itu film dari novel apa? Begitu saya tau Q & A eh tukang pecel yang daritadi disamping saya ikut longok-longok laptop tiba-tiba melonjak kegirangan. "Akhirnya… Akhirnya sodara-sodara. Akhirnya…" (kumat mode on)

Saya pun dapat tugas mulia dari makhluk yang jika ketawa matanya tinggal segaris ini cari dvdnya ke tukang soto eh tukang dvd langganan saya, si Hendrik. Eh untungnya ada, tinggal dua. Begitu saya ambil satu. Dateng seorang mbak-mbak beli yang atu lagi. How lucky iam. Sebab rupa-rupanya tuh film udah masuk katagori the dead wanted. Dicari-cari orang. Huhuhu senengnya… bisa bikin tuh anak meringis.

Maka sebelum saya kasih ke dia saya pun "maen cina" dengan nonton duluan hehehe... (sst supaya pas nemenin dia nonton, saya bisa merhatiin "hal penting" lainnya hihihi...)

saya pun memutar filmnya dan … jreng…jreng ternyata...

Jauh beda dari novelnya. Ya iyalah… saya juga udah menduga hal ini. Barangkali jika ingin divisualisasikan sesuai dengan cerita novelnya bentuk yang paling memungkinkan adalah miniseri, atau semacam serial pendek gitulah. Dengan film yang hanya punya durasi 2-3 jam mana mongkin isi novel dipindahkan. Jika disingkatsingkat pun rasanya mustahil.

Mungkin bagi penonton Slumdog Millionaire yang pernah membaca novel Q & A. Menonton film ini seperti mereset ulang imaji yang terlanjur ditanam Vikas Swarup di liang memori mereka(termasuk saya). Lupakan Ram Muhammad Thomas dengan koin ajaibnya serta sahabat sejatinya Salim. Anggap saja takdirnya sebagai Ram dengan likaliku petualangannya dicabut. Lalu dia diberikan takdir baru sebagai Jamal Malik dengan Salim sebagai kakaknya.

Mungkin Ram akan protes. Hihihi…

Dalam novel nama Jamal Malik adalah Ram Mohammad Thomas. Sebuah nama unik yang mempunyai sejarahnya sendiri. Sedangkan Salim adalah sahabat Ram, bukan kakak Jamal. Tak tau mengapa di film nama Ram Muhammad Thomas diganti menjadi Jamal Malik. Mungkin produsernya mengantisipasi terjadinya hal-hal yang sensitif. Atau ada alasan lain. Entahlah...

Seperti saya bilang sebelumnya, bahwa secara keseluruhan cerita antara novel dan film jauh beda. Mungkin cocoknya bukan “film adaptation from” namun “film inspired by” (sok tau, dah lo rang…)

Barangkali satu cerita yang dicomot dari novel adalah kisah tentang Mehman, sang bos gelandangan yang kejam, tega membuat cacat anak buahnya (sang bocah-bocah gelandangan) agar dapat menghasilkan uang lebih banyak. Itupun ceritanya jauh beda dan dibalik-balik dari novelnya. Dalam novel yang suaranya bagus adalah Salim, sedang Ram suaranya ancur difilm sebaliknya. Dalam film Salim Menyelamatkan Jamal dinovel kebalikannya. Cerita tentang Ram jadi guide yang digambarkan Vikas dengan jenaka sekaligus mengharukan hanya dicomot idenya secuil saja.

Jika ada yang agak lebih mengejutkan saya maka hal itu adalah peran Salim yang sempat menjadi tokoh antagonis. Berkebalikan dengan karakter Salim dalam novel yang lugu dan polos. Jika di novel fokus cerita adalah bagaimana Ram dan Salim saling "menguatkan" diri menghadapi dunia jalanan yang keras. Maka di film, dunia jalanan telah menuntun watak Salim yang keras menjadi bandit jalanan. Hingga Jamal terpaksa harus berhadapan dengan kakaknya sendiri, Salim.

Film dan prosa memang mempunyai keunggulan dan kekurangannya sendiri. Hingga tak ada yang bisa mengklaim film lebih unggul dari prosa atau sebaliknya.

Dalam prosa cerita dipindahkan pengarang ke kepala pembaca melalui kekuatan kata-kata. Pengarang hanya kuasa memaparkan, bukan mendiktekan. Sebab imaji pembacalah yang mempersepsikan dan memvisualisasikan dalam alam imajinernya. Nasib sastra adalah sejauh mana kata-kata mampu mengsensasikan imajinasi di benak pembaca. Sedang dalam film penonton tak diberi ruang untuk menciptakan dunianya sendiri. Visualisasi telah mengambil peran itu. Ini bisa dianggap keterbatasan atau kelebihan tergantung dari sudut memandang saja. Kekuatan film bukan hanya dicerita dan kekuatan karakter yang diperankan tokoh-tokohnya. Setting latar, tata warna dan musik juga mengintervensi imajinasi pembaca. Paduan kesemua itu mampu menghipnotis penonton hingga mengalami ekstasenya sendiri. Ekstase yang berbeda dibanding membaca bukunya.

Whateverlah …

Terlepas perkara sama atau nggak, beda jauh atau dekat dengan novelnya, yang jelas film slumdog millionaire ini sangat oke punya.

Bagi saya pribadi yang berkesan dari film ini adalah gambaran tentang India. Ya, India dalam film ini, tak seperti gambaran film Bollywood yang pernah saya tonton. Film ini nggak menyorot rumah-rumah megah dengan paviliun luas dan pohon-pohonnya. Atau nyanyian dan tari-tarian massalnya. bagi saya setting film ini lebih real India. Gambaran India dalam film ini persis sama dengan penuturan dan foto-foto Agustinus Wibowo yang saya baca di kompas.com. India yang kumal dan kumuh.

Saya cukup puas menonton filmnya. Kalo untuk novelnya saya kasih standing ovation. Maka buat filmnya, Saya kasih two thums up. Bintang empat seperapat buat film ini. Salut buat sang sutradara, Dany Boyle. Tak heran film ini bisa menyabet 6 piala oscar.

~ saya lagi mijit-mijit idung. kira-kira responnya si mata segaris setelah nonton film ini gimana ya? ~


Buat yang pingin nonton filmnya tapi nggak nemu dvdnya bisa download di sini (full)

Dan yang ingin download soundtracknya bisa ke
sini atau di sini (kalo link yang itu broken)

note :
oh iya. sebagai informasi tambahan. novel ini dicetak ulang serambi, dengan cover dan judul beda dengan cetakan sebelumnya, judul barunya : teka-teki cinta sang pramusaji



(Baca Selengkapnya)

Monday, February 23, 2009

solitude is broken

dia terseret..

       tidak.
       tidak.
       dia menggeleng. mengusir. namun aliran kenangan itu tetaplah mengalir. menghayutkannya. berkali dia menarik nafas. menghembuskan gumpal asap. aroma kretek menguar. dia dapat menikmati aroma kretek yang khas bercampur bau nafasnya.

       “kira-kira apa ada kehidupan, disuatu tempat, di sana?” seolah dia bertanya pada dirinya sendiri. matanya menatap langit malam. kelopak malam merekah. indah bukan buatan. bintang-bintang berserak. dalam hening. dalam sepi. melumur waktu, seolah tak bertepi. seperti apa kita di matanya?

       sosok selain dia. mahluk selain dirinya yang sering memantul di pupil matanya mengangkat bahu.

       agak jarang momen-momen seperti itu terjadi padanya. barangkali juga pada gadis di sebelahnya. lumayan jarang, namun lebih daripada pernah. dia tak mengingatnya berapakali. dia tak hendak menghitung. dia tak hendak mengenang. namun kenanganlah yang menghampirinya.

       waktu berjalan ke depan. maka hiduplah yang membawanya kesini. sampai di sini. untuk hari ini. menghirup gumpal asap ini. menciumi aroma ingatan.

       “mengenang hanya untuk orang tua!” begitu lelaki itu mengulang. kalimat pavorit gadis itu yang sering berngiang ditelinganya. kalimat senada itu banyak terdapat dibuku-buku. namun gadis itu mendapatnya pertama kali dari pengarang brazil pavoritnya. sudahlah. kalimat selalu berulang, siapa yang pertama bilang biarlah hanya tuhan yang tau.

       saat lainnya dia mendapati helai-helai tawa itu. seperti halaman halaman buku, dengan cerita beraneka rupa. lalu dia akan menebak-nebak. potongan senyum berserak di
waktu lainnya, di

       tempat lainnya, dia tersenyum. menjumpai helai senyum.

       “senyum lin. senyum” dia berbisik ditelinga gadis itu. mencium sendiri aroma nafas kreteknya yang memantul ditelinga gadis itu. lalu berganti wangi rambut gadis itu. dari sisi itu. dari jarak itu. bening mata itu memantulkan kerlip bintang. “di sana sedang memandang kita juga, pake teleskop. tutupin jerawat kamu...”

       dia merasakan. emosi itu. dari telapak tangannya. seolah masih saja menempel di genggaman tangannya.

       lambaikan tanganmu.

       dia tau. dia paham. bahwa hatinya jatuh suka pada warna senyum yang dipersepsikannya sendiri. garis lengkung, tarikan bibir yang sulit ditafsirkan. ekspresi tawa. nada-nadanya. ayunannya. masih melangut di liang memorinya. dan berpendar-pendar disana.

       entah di kini.
       entah dimana. dia mendapati lagi raut instan itu.

       dia melihat wajah itu menjelma retan. pucat. lesi. tirus. pasi. pita senyum yang melambai panjang. irama tawa yang mengundang. hapus begitu saja oleh sekejap lesi yang bisu. seolah tak ada hari-hari sebelum itu. seperti tak ada yang disebut moyang-moyang hari yang dia namakan “kemarin”. seolah dia tiba-tiba hadir di situ dengan titipan penuh beban yang sulit dijabarkan.

       kau bisa memilih menikmati kehidupan ini utuh. bulat. berkelanjutan. simpul yang berkait-kait. namun bila kau merasa bosan. akui saja saat itu sebagai fragmen. kau dibingkai dalam suatu waktu permulaan. menuju titik, untuk mendapati titik lainnya.

dia ingat, kalimat-kalimat perempuan itu. jalinan kata yang keluar dari bibir merah muda. kata-kata yang serupa bisikan.

       dia memperhatikan wajah didepannya. seolah berupaya mengenalinya. menatapnya dalam-dalam. seperti hendak melukis raut wajah itu dalam kanvas otaknya. atau barangkali hendak memungut sisa-sisa yang masa lalu yang tersampir di mata itu. atau berupaya membaca masa depan apa yang akan dilihat bola mata itu.

       “liat apa?”

       suara itu mengusir dunia dalam kepalanya. membuatnya terjaga. belum sempat dia menjawab. perempuan itu meraih lengannya. merapatkan kepala di bahunya. membawa kakinya beranjak. perempuan itu melepas satu earphone dari telinga kirinya. menyumpalkan ditelinga kanannya.

solitude is broken ...
~ untuk seseorang, karangsati, 200209 ~


(Baca Selengkapnya)

Tuesday, February 17, 2009

jam sakit (jiwa) orang jakarta

suatu ketika dari suatu masa, teman saya lupa memakai jam. hape juga jauh di lubuk tas. ia terburu-buru. dan kala itu dia tengah berada dalam perut sebuah mikrolet yang syahdan kabarnya akan lewat depan kantornya (dia sendiri keliatannya nggak yakin tuh...hehehe)

sekedar ingin tau. dia melirik jam mungil yang melilit di pergelangan tangan mbak manis dengan blazer kantor di depannya. jam 7:25. keningnya berkerut, antara cemas dan tak percaya. ingin mencari kepastian dia melirik ke jam tangan remaja tanggung yang duduk sebelah si mbak. wah lebih runyam ceritanya 07:31. makin penasaran dia menjelajah…

"maaf numpang tanya, pak. jam berapa?"

si bapak membalik pergelangan tangannya. “hmn…” kening si bapak berkerut. “tujuh duapuluh” si bapak mengangkat mata dari jam tangannya. jam dua jarum, yang jarum panjangnya nyaris diangka 10. jam 8 kurang 12 menit yang sempat ditangkap mata teman saya.

“orang jakarta sudah sinting semua” begitu yang meluncur dari mulutnya begitu masuk ruangan. duduk di kursi kubiklenya.

“kenapa memangnya, mbak?” tanya saya ingin tau.
“heh, rang. kamu orang jakarta. liat jam kamu. jam berapa sekarang? tangannya mengobok-obok isi tasnya. mencari sesuatu.

“saya lagi nggak pake jam, mbak”

“barusan saya ngeliatin jam sak mikrolet” mengeluarkan hape dari tas. “masa semikrolet nggak ada satupun jam yang bener. ada yang dilewatin 5 menit. ada yang lewatnya 11 menit. bahkan ada yang lewatin jamnya nyaris 30 menit. apa maksudnya coba?”

“it’s ok 5 menit. tapi sebelas menit. 15 menit. apalagi nyaris 30 menit itu sudah sakit jiwa. lha dia sendiri yang majuin jamnya. bukan artinya dia tau jam berapa sebenarnya. trus buat apa pake dimajuin? apa bukan menipu diri sendiri namanya?" si mbak kipas-kipas, entah darimana datangnya kipas (kek pelem mandarin jadul adegannya), dan buat apa? sebentar duduk juga udah dingin. wong ac disetel suhu minimal.

“mungkin maksudnya sebagai upaya membuat diri terburu-buru. biasanya kan orang begitu…” atau buat jaga-jaga kalo jamnya telat.

“ah. nda’ masuk diakalku, rang. nda’ logis”

sebut aja namanya mbak era. asalnya kalo nggak salah-salah inget, kudus. saya panggil mbak, karena memang beberapa tahun usia diatas saya. secara almamater juga dia kakak kelas saya. orangnya sebetulnya lembut dan menyenangkan, kecuali dalam beberapa hal kata orang dia itu saklek punya. entahlah, yang mana. nah dia tuh sebelum pindah ke kantor yang saya tempati sekarang, penempatannya surabaya. karna satu dan lain hal, seperti banyak pegawai yang kerja di instansi saya, sampailah dia di jakarta, jadilah nasib mempertemukan saya dan dia dalam satu ruang kerja yang sama.

tin-tin!

lamunan saya terputus.

kaki kanan saya reflek sedikit menginjak rem serta membelokan stang. sebuah motor menyalip saya dengan cepat begitu saja. padahal jarak celah amat sempit antara saya dan mobil di depan serta kendaraan sebelahnya. krupuk! ya, krupuk kata pak boby, temen saya yang bawa mobil karna jengkel ama pengendara motor di jakarta ini. “mobil itu mereka dianggap krupuk, rang” kata temen saya itu. “lha wong mobil rapet men trabas-trebes, mana kenceng lagi. coba kesenggol dikit apa nggak kejungkel” sambung temen saya itu dalam obrolan tak penting membahas lalu lintas jakarta.

jam ini. jam rawan. mepet-mepet setengah delapan. saat jam orang kesetanan mengejar absen pagi. berebut badan jalan. potong-memotong dengan beringas di jalan. jalan menjadi tempat yang liar dan menyeramkan. orang yang ramah jadi seperti rampok, kesenggol dikit langsung melotot. well, i blame this world for making a goodman evil kata bon jovi.

saya sendiri dah pasrah. saya jalan tadi dah lebih siang dari biasanya. saya pasti telat pikir saya. mungkin nggak kalo saya mo nyerabat nyerobot. tapi ah, keselamatan lebih penting daripada beberapa puluh ribu yang akan dipotong dari tunjangan saya akibat keterlambatan, wow saya makin tua makin bijak hehehe…

saat saya masuk halaman parkir saya menoleh jam ke jam di sana. jarum panjang udah diangka enam mepet. absolutly, exactly – kata thompson dan thomson - saya telat! belom naek tangga, meskipun hanya satu lantai mesin absen adanya jauh di dalam. biarpun lari saya secepat ben johnson sekalipun. saya telat.

“hayu rang. cepet” seseorang menegur saya di depan pintu masuk. rupanya mbak era.

“udah telat, mbak” saya memilih berjalan pelan. apa gunanya lagi cepat-cepat? sudah telat mungkin tiga menitan pikir saya. “belum” mbak era di samping saya tampak tergesa. “masih kurang 2 menit” dia melihat jam tangannya.

“bukannya udah lewat 3 menit” saya juga ikutan melongok ke jam di tangannya.

“belom” dia tergesa mendahului saya.

meski bingung saya akhirnya berlari menyusulnya. kini kami bersisian lagi. “jam saya kecepatan 7 menit” urainya seperti tau kebingungan saya.

“bukannya…” saya mengernyitkan kening sepertinya. “… jam mbak selalu tep…”

“ya, sekarang saya sudah ikut sinting!” mbak era memotong kalimat saya. “dan ternyata itu sering nyelametin absen saya. semenjak jam saya bikin lebih maju, sama kayak jam di parkiran, saya jadi was-was. ingin buru-buru. saya jadi sering yakin kalo jam saya itu tak layak lagi dipercaya. sepertinya begitulah cara mematok waktu hidup di jakarta” dia ketawa.

LHA?! saya garuk-garuk kepala. ~karangsati, kemanggisan ~


(Baca Selengkapnya)

Wednesday, February 4, 2009

hmn... nonton august rush nih...

well, its a marvelous night for a moondance
with the stars up above in your eyes
a fantabulous night to make romance
neath the cover of october skies (moondance)


Ehm habis nonton August Rush, dan imajinasi masih kebawa nih…

He-eh biasa. Nonton di dvd. Telat banget kali yah buat ngomongin nie film. yang udah nyaris setengah taon lalu maen. Maklum saya bukan moviegoer. Males nonton kalo nggak ada yang nemenin. Maka jadilah saya ini dvdwatcher, tukang ngamatin keping dvd gitu hehehe… (ngaco deh). Nah kemaren, abis diajakin temen saya dari planet Pluto liat pameran buku di Senayan, sorenya karna saya nggak punya pacar buat saya apelin, maka saya buat lawatan kerja ke tempat Jummy Hendrik, tukang dvd langganan saya yang setelah keseringan ngaca di kaca spion merasa dirinya sodara kembar Kaka.

Melihat langganannya yang mulia Dr. dr. ing. Karangsati A., SE, AK, maka si Hendrik pun langsung mengadakan upacara penyambutan pake barongsai dan nyalain serenceng petasan cina yang segedegede bagong trus dilempar dan ditangkis Karang dengan tangkas kayak Huang Fei Hung gitu, hingga tuh petasan nyangkut di konde seorang ibu darmawanita yang entah darimana datangnya sore-sore itu bisa kelayaban di Pasar Slipi…. Alhasil pas petasan meledak tuh konde nyangsrang di awungan (langit-langit) pasar.

“Drik. Lo buo-ongin gue” Karang yang imut dan manis bin inosen serta rajin gosok gigi plus gunting kuku, pasang muka garang. “Pelem masih ngesyut di bioskop Lu bilang udah ori” Suara Karang makin jumawa. Karang ini mahluk paling anti ama pelem burem. Biar kata cuma 5-6 ribu. Dia punya prinsip mending nggak nonton sama sekali daripada nonton tapi nggak puas. Dasar!

Jummy Hendrik langsung nubruk dengkul Karang, saking takutnya akan murka Karang. “Ampun Bos! keseribu kalinya untukmu ampun! … bla bla bla…” Jumi mengemukakan 1001 alasan yang membuat hati Karang lulur eh luluh.

Beberapa puluh menit sebelum itu, iseng saya ngetesin dvd-dvd bajakan yang selama ini banyak yang belom saya sempat tonton, hanya numpuk di pojokan kamar. Dan setelah cek keluarmasukin dvd hingga kompie saya mencoba meng-hang-kan dirinya sendiri. Dapatlah saya sekitar duapuluh lima biji pelem yang nggak jalan atau nggak ori gambarnya. Sebenernya masih banyak yang belom dites. Tapi saya rasa itu udah cukup buat saya barter ama pelem baru hihihi... inilah yang membuat saya jadi langganan si Hendrik : Kepercayaan. Biarpun tuh pelem udah saya beli dari dia lebih dari setahun, kalo tuh pelem nggak ori atao nggak jalan dia dengan seneng hati bersedia menukar tuh pelem. Nggak kayak tukang dvd sontoloyo di glodok yang udah galak, suka melotot lagi… (tambah error keknya niech si Kerrang…)

Nah dapatlah saya film ini : August Rush. Covernya keren. Anak kecil ganteng (kayak saya dulu hehehe...) duduk dengan gitar, berhadapan dengan lelaki berwajah melankolis (kayak saya sekarang qeqeqe...) yang sedang memetik gitar

Barangkali dari sekian banyak film yang sempat saya tonton, ini termasuk film yang unik.

Maksud saya nggak jelas genrenya, dibilang film anak kecil, pasti bukan. (Evan lahir karna hubungan luar nikah orang tuanya). Dibilang film remaja atau dewasa juga ceritanya terlalu “ngimpi”. Barangkali gambarannya, taste nih pelem kayak nonton Oliver Twist dicampur ama The Great Expectation

Apa saya perlu cerita disini? Sedikit aja kali ya…

* * *

Evan Tailor, bocah sebelas tahun yang kerap dijaili teman-temannya di panti asuhan. Bocah kecil yang dijuluki temannya manusia aneh, karna senang menyendiri, hidup dalam dunianya sendiri. Tak ada yang tau, bahwa dia dianugerahi talenta musik yang menakjubkan. Dia mampu mendengar musik dari apapun, dimanapun : suara angin, gemerisik daun, suara denting, dengung, hujan, cahaya. Seolah semua suara alam adalah musik menakjubkan yang bermain harmoni dalam kepalanya.

Evan percaya orangtuanya masih hidup, entah dimana, di luar sana. Dia juga percaya suatu hari nanti musik akan mempertemukan mereka. Maka ketika suatu hari dia diberitahu akan ada yang mengadopsinya, dia takut. Dia takut takkan bertemu dengan orang tuanya. Hingga pada suatu malam dia memutuskan pergi diam-diam dari panti asuhan, mencari orang tuanya yang bahkan dia tak tau identitasnya.
...

11 tahun lalu, pada suatu pesta. Seorang gadis yang jengah dengan keriuhan pesta ketika di tangga tanpa sengaja mendengar alunan harmonika di kejauhan. Ia pun naik ke atap gedung mencari tau. Ternyata lagu itu dimainkan pengamen di gerbang sana. Tanpa dia sadari seseorang sudah ada lebih dulu di sana. Lelaki itu duduk di pinggir teras atap, menyapanya ketika dia sedang tertegun menikmati alunan musik yang mempesonanya itu.

Lelaki itu Luis Connely, vokalis sekaligus gitaris andalan band rock Irish. Dan perempuan itu adalah Lyla Novacek, pemain cello klasik berbakat yang sedang menapaki karirnya. Mereka ditemukan nasib malam itu di atap sebuah gedung. Luis yang tampan dan melankolis, Lyla yang cantik dan lembut, malam pun mengalir dan melarutkan cerita mereka. Seolah mereka telah kenal lama, berbincang sambil menatap Washington Square. Hingga bintang-bintang mengaitkan hati mereka berdua. Mereka saling jatuh cinta, dan…

Namun hubungan mereka sepertinya, hanya satu malam itu saja. Demi masa depan karirnya, Lyla tak diijinkan oleh ayahnya yang ambisius menemui Luis. Dan cinta mereka pun kandas. Beberapa bulan dari kejadian itu Lyla hamil (tentu aja Luis gak tau). Dan singkat aja (ya?) Lyla dibikin kecelakaan hingga melahirkan sebelum waktunya. Dan oleh sutradara, ayah Lyla disuruh bo’ong kalo bayinya meninggal waktu operasi. Padahal diserahin ke (apa ya namanya Legal Adoption, mungkin) dinas adopsi anak (hehehe mulai males nulisnya nie) dengan memalsukan tandatangan Lyla.

Sebelas tahun kemudian.

Evan yang melarikan diri dari panti asuhan terdampar di New York, di suatu taman, terkesima melihat permainan gitar Arthur, seorang bocah pengamen yang hampir sebaya dia. Evan mengikutinya karna tak punya tempat tinggal. Dan cerita disini entah kebetulan, mirip Oliver Twist, ternyata Arthur anak buah Wizard, bos pengamen yang mengasuh para pengamen cilik itu (kalo di Oliver Twist, sindikat pencuri). Trus trus…

Evan tak pernah kenal notasi. Tak pernah bermain alat musik apapun. Ternyata suatu malam dia mendapati dirinya mampu memainkan gitar dengan cara yang menakjubkan. (Cara main gitarnya ngingetin saya ama Sungha Jung, bocah korea umur 12 tahun yang jago gitar di youtube. Nah cara Sungha Jung waktu mainin Canon D rada mirip)

Trus… trus… arghhhh nggak seru kalo diceritain detil ya…? Mendingan nonton aja. Film ini asik, dan menghibur. Full musik. Ada beberapa lagu yang saya sangat suka di film ini. Satu diantaranya lagu lama Van Morrison yang judulnya Moondance. Nggak dinyanyiin penuh difilm ini. Tapi bait depannya dipakai Luis saat merayu Lyla.

Dibawah ini ada 6 lagu soundtrack August Rush. Jika browser Anda terinstall dan terintegrasi IDM (Internet Download Manager) Anda tinggal mengklik play untuk mendownload. Jika tidak otomatis terdownload maka pada IDM pilih option kemudian pada tab file types ketikan MP3. Jika Anda tidak punya IDM maka Saya juga menyediakan downloadnya 8 lagu di box.net sebelah kanan halaman ini.

(Baca Selengkapnya)