.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Wednesday, December 12, 2007

goddamn gay

Suatu ketika, sehabis pulang nganterin Ri dari suatu acara, saya nggak langsung pulang. Berkeliling-keliling motoran. Dan heh, nggak tau kenapa. Tiba-tiba saya sudah berada di lobi sebuah bioskop. Saya duduk bersandar setengah rebahan. Mata kerjap-kerjap—emangnya boneka baby. Iyah saya ini mau nonton, tapi masih ragu ama filmnya. Karena rada mengantuk maka saya tidur-tiduran. Merem-melek-melek-merem.

“Mas”
“Mas”

Awalnya saya tak menyahut. Saya pikir sapaan itu bukan untuk saya. Tapi setelah beberapa kali. Saya merasa barangkali untuk saya. Maka saya membuka mata.

Seorang lelaki. Tinggi menjulang. Barangkali sekitar seratus tujuhpuluh delapan. Posturnya atletis dengan kaos dan jeans serta bertopi ‘bulls’. Meski penampilannya sederhana namun harus saya akui. Dia lumayan tampan. Kulitnya bersih, potongan rambut pendek, garis cambangnya yang panjang tercukur rapi. Siapa? Mo ngapain? Mau ngapain ini orang negur saya? Saya nggak kenal sama sekali ama orang ini.

“Mas. Mo nonton?”

Entah mengapa saya ngangguk.

“Kebetulan”

Apanya yang kebetulan? Kening saya barangkali berkerut tiga ketika itu.
“Saya punya tiket dua nih Mas. Tadinya sih saya mo nonton bareng temen saya. Tapi karena dia nggak bisa dateng….”

“Maksudnya?” Potong saya rada curiga.

“Maksudnya daripada tiket ini nganggur…yeah buat Mas aja…”

Sempat saya memandangi orang itu agak lama. “kenapa ke saya? Coba tawarin ke yang lain aja” Tukas saya agak ketus. Entah kenapa saya merasa nggak nyaman dengan tatapannya. Bukan takut. Tapi aneh. Lagipula saya lagi malas buat ngobrol. Ama cowok lagi walah… kalo cewek cakep sih mau hehehe…

“Yah barangkali karena saya sregnya ama Mas” suaranya terdengar lagi.

Sempat saya ragu. Beberapa kali saya coba menangkap matanya. Saya tak menangkap ekspresi aneh disana. Okelah, pikir saya. Toh hanya nonton. Kenapa sih saya terlalu curigaan ama orang. Don’t talk to stranger! Kata sebuah film yang pernah saya tonton ketika saya kecil. Yang seringn kebawa-bawa hingga kini. Hei! Wong saya ini dah gede. Mo ngapain dia? Kalo macem-macem—hajar aja. Meski dia lebih besar dari saya. Saya nggak takut. Lha ini tempat rame…

“Ok” Kata saya. “Tapi saya lagi males ngomong” Lanjut saya menegaskan—buset galak banget.

“Nggak masalah”

Saya pun nerima tiket bioskop yang disodorkannya.

Nggak tau kemana setelah ngasih tiket itu, dia kembali menghilang. Sempat juga sih saya celingukan. Ah perduli lah…

Sampai studio dibuka. Dan orang-orang diancam masuk. Saya nggak ngeliat batang hidung si Mr. Topi. Malah enak pikir saya lega. Saya pun mencari nomor kursi. Sialan dipojok! Halah gratis kok mau enak? Saya pun melanjutkan langkah. Tapi alangkah terkejutnya saya begitu melihat ke arah kursi saya. Si Mr. Topi udah ada disitu. Kapan masuknya? Kayak adegan film horor…

Si Topi tersenyum.

Barangkali buat mata cewek senyumnya itu manis. Tapi bagi saya nggak. Entahlah, meski dilanda perasaan aneh saya terus menuju kursi saya—yang pasti ada di sebelahnya. “Kapan masuk?” tanya saya. “Barusan” dia menjawab. Saya pingin tanya ‘kok saya nggak liat’ Tapi urung karena saya liat tangannya menawarkan sesuatu. Popcorn dan softdrink.

Buset, pikir saya. Nonton ama Elvi Mari aja saya nggak pernah kepikiran buat beli jajanan. Kalo laper paling Ri atau saya yang ngajakin makan di luar. Tapi belom pernah ada sejarahnya kami ngemil sambil nonton.

“Nggak. Makasih” sahut saya sambil menggeleng, kali ini suara saya agak melunak. Nggak enak juga terus-terusan bersikap ketus dan curiga ama orang yang terus-menerus bersikap ramah. Terus terang, walaupun sikap saya melunak namun itu tak menghapus kewaspadaan saya. Nawarin makanan, minuman ditempat begini. Hii jangan-jangan tuh minuman udah disuntik lagi. Saya keinget berita-berita tentang korban pembiusan dengan modus menawarkan minuman. ‘Hei Bung, Lo pikir gue goblok?!’ Batin saya.

Nggak lama film mulai.

Adalah kebiasaan saya nonton film dengan serius. Walo belajar saya nggak serius. Tapi nonton film saya serius. Walo ngerjain ujian saya nggak serius. Tapi nonton film saya serius. Walao makan nasi saya tidak serius. Tapi nonton film saya serius. Walau halah…

Pada suatu ketika, entah dimenit keberapa saya menyadari kembali keberadaan diri saya kembali. Saya sedang duduk didalam gedung bioskop dengan kepala terkulai miring dan mata melotot ke depan. Lalu, heh, saya menyadari ada yang keras menyentuh kepala saya dipinggiran bangku. Saya menoleh.

Kepala si Mr Topi.

Sandarannya miring ke arah kepala saya. Menyadari hal ini saya menarik kepala saya. Duduk saya tegap seperti sikap personil waffen SS. Atau sikap seorang lelaki perkasa, yang betul-betul maskulin. Beberapa saat saya coba mempertahankan posisi. Andaikan jatuh saya ingin kepala saya terkulai ke arah yang berlawanan dengan si Mr. Topi.

“Dingin ya, Mas?”

Saya tak menyahut. Dari ekor mata saya, saya tangkap dia sedang menggosok-gosokan tangannya. ‘Salah lu sendiri! Nonton ditempat begini cuma pake kaos begitu!’ Sahut saya dalam hati tapi. Beberapa saat kemudian saya kembali hanyut oleh jalan film. Ketika film sedang dalam keadaan seru saya sempat terhenyak.

Ada tangan terkulai dilutut saya. Nah lho!

Sempat saya melongo beberapa saat. Lalu mata saya beralih pada sang pemilik. Matanya melotot ke depan. Saya tak melihat ada unsur kesengajaan disitu. Maka dengan cara tak menarik perhatian saya singkirkan tangan itu dari lutut saya.

Saya pun kembali asik terlena dalam adegan penyiksaan—saat itu saya memang sedang nonton film thriller. Saat saya hendak bergerak karena merasa cukup pegal saya sempat terhenyak.

Astaga naga.

Ada tangan sudah melingkar dibahu saya. Ada tangan melingkar di bahu saya sodara-sodara! Sialan! Motherfucker! Orang ini gay. Saya menyingkirkan tangannya dengan amat kasar.

“Maaf, Mas. Dingin” ujarnya tanpa rasa bersalah.

“Dasar gay sialan lu!” Saya geram. Bangkit lalu segera keluar. Beberapa penonton menoleh pada saya. Bajingan. Damn-gay!!!

***
Ri terpingkal-pingkal dengan laporan saya ditelpon. “Jangan ketawa kamu!” bentak saya gusar. Tapi suara Ri malah makin terpingkal-pingkal. “Habis potong rambut bukannya didatengin cewek. Malah disamperin gay! Nasib-nasib…”

Heran. Nggak habis pikir saya. Kenapa gay akhir-akhir ini makin banyak aja berkeliaran.

No comments: