.: THIS BLOG IS BUILT AND DEDICATED TO YOUR EYES ONLY :.

Tuesday, August 21, 2012

grrrrhhhh

what an ordeal…

my laptop hardrive was burned. the prime suspect which made it overheated was stupid fan’s hardrive. it didn’t work properly. or it didn’t work at all.

what is very disturbing when you found your harddrive getting burned? i guess not about buying new one. but, loosing your data. up till now i still thinking about how to get back data from my hardrive. my writing, my novel draft on it. ok i have old backup, but too far old. too much changes i made. and i can’t rewrite it, as you now, that is imposible about picking back every word in our memory. its come once. spill, and gone forever.

i think, its completely damage. even the bios couldnt recognize at all. i’ve tried by winipe, windows live cd. and the result was the same.

almost all recovery software that I know give me nothing.

im not vandalisman. but at that time, i just want to hammer it. why im so stupid. i mean, i didn’t do regulary backup… grhhh…
(Baca Selengkapnya)

Monday, August 1, 2011

belanja...

Beli baju. Beli sepatu. Beli celana. Beli sandal. Semua itu adalah hal yang paling menyebalkan buatku. Membuatku tersiksa dan menderita. Itu sebabnya aku paling malas melakukan hal ini. Keliling-keliling toko. Kegiatan ini kalo dilakukan sering-sering bisa menurunkan berat badan hingga separuhnya, serem kan?! Milih-milih baju, celana, kaos oblong, kaos kaki dan lain sebagainya. Tapi yah apa boleh buat. Penampilanku, kata Kubil akhir-akhir ini udah amat memprihatinkan. Liat sepatu. Udah bulukan gitu. Disemir satu ember pun nggak bakalan naik derajat. Kemeja, celana. Warnanya udah banyak yang kusam.

        Kukira paling tinggal 4 setel pakaianku yang masih lumayan.

        Kalo aku sih nggak peduli. Tapi kasihan temen-temen. Mereka bisa risih kalo jalan ama aku. Dan kantor. Apa kata orang nanti tentang KPP. Kantor bisa turun wibawa pasang pegawai gembel di ruangannya yang mengkilap dan wangi… Jadi kau paham kan? Ini, bukan semata persoalan pribadi. Ini juga bukan sekedar kesadaran sosial. Ini tentang wibawa kantor, terlebih jauh ini menyangkut wibawa negara… Jadi aku tak boleh egois!

        Sesuai dengan tuntutan harmoni yang pernah diajarkan Kubil. Kalo beli celana aku selalu memadankan dengan kemeja. Biar enak dilihat. Emang Kubil itu lumayan juga seleranya.

        Maka harian itu aku habis mengudek-udek toko baju. Ngeborong ceritanya. Beli celana 7 potong. Otomatis atasannya juga, kemeja dan kaus juga harus tujuh. Celana pendek tiga. Trening buat olahraga satu. Sepatu kantor dua pasang. Sepatu olahraga sepasang. Sendal juga dua pasang. Jaket nggak ketinggalan. Kaos dalam. Celana dalam. Saputangan. Handuk. Persis. Persis banget kayak orang habis kemalingan.

        Cukup kau tau, aku sudah lupa tahun kapan terakhir aku belanja. Rasanya sudah berabad-abad silam.

        Ok, ini bagian yang paling pelik! Beli sepatu. Diantara sepatu dengan model yang begitu banyak itu. Mulai dari yang klasik ampe yang mutakhir. Nggak satupun yang menarik hatiku. Jika ada model yang lumayan berkesan, begitu dicoba ukurannya nggak pas. Sepatu itu kau tau, sungguh sialan akar 13 pangkat 1/3 dikali 0.125 dibagi 9 kerjakan dalam waktu 35 detik—mampus koen, bernomer sama tapi jarang yang pas. Semuanya salah. Semuanya norak. Akh atau sebetulnya aku yang norak.

        Barangkale…hehehe…

        Aku mau sepatu warna hitam. Dari kulit bukan sintetis. Nggak berat. Hak alasnya sedang. Nggak kayak mesin giling tapi juga nggak kayak triplek. Nyaman di kaki. Nyaman di hati. Nggak bikin bau biar nggak pernah nyuci kaos kaki. Polos tanpa hiasan, tanpa tali—kecuali sepatu olahraga aku benci sepatu dengan tali, merepotkan dan nggak praktis. Kalo perlu tanpa merk.

        Tentu aja nggak ada kampungan! “Kecuali lo pesen di neraka sana!” mungkin begitu kalo pramuniaganya kutanya.

        Pada akhirnya, seperti Xi Han Wen yang gigih, setelah menanyai adakah sepatu bersayap 9 untuk pergi ke nirwana--*ngaco banget. Dan dilempar keluar dari lantai 5 pagoda Liefeng. Akhirnya pejuang menyerah dan memilih sepatu yang didisplay di rak aja. Ternyata itupun tidaklah mudah. Setelah mengaduk-aduk toko-toko sepatu, dibawah pelototan sang pramuniaga dengan seribu satu syakwasangkanya, akhirnya perjuanganku nggak sia-sia. Yah nggak persis sama dengan yang aku inginkan. Tapi paling nggak aku menemukan yang mendekati. Kubeli dua pasang dengan harapan semoga satu sepatu bisa bertahan minimal dua tahun. Jadi aku bisa lepas dari ‘nightmare lookin 4 shoes’ paling nggak selama empat tahun—watdeheck?!

        Ampun.
        Ampun.
        Cape!

        Biarlah paling nggak untuk satu setengah tahun kedepan aku nggak akan diganggu kegiatan menjengkelkan ini lagi. Satu setengah tahun? Bandingkan dengan Marbud Sasongko yang minimal setiap bulan belanja tiga setel pakaian. Mungkin betapa mengerikannya isi lemariku di mata Mister Marbud Sasongko yah…?

        Aku memang payah dalam hal berbusana. Aku lebih sering beli buku daripada beli baju. Yang walo udah banyak baca nggak pinter-pinter—malah perasaan makin bego aja. Tapi aku nggak kapok-kapok.

        Kalau dihitung pake sipoa, aku punya celana nggak lebih dari sepuluh. Apalagi Kalo dihitung pake metode nyimpleng mungkin hasilnya lebih parah lagi. Dan kemeja—itu udah termasuk batik yang merupakan baju wajib kondangan. Itu udah termasuk pakaian kantor. Jadi Diantara anak-anak kos mungkin lemarikulah yang paling ringkas.

        Begitu beli yang baru. Biasanya yang lama segera kuenyahkan. Biasanya sih kusumbangkan. Eh maksudku kukasihkan ke orang yang mau—malu aku pake istilah menyumbang. Kalo menyumbang kan seharusnya yang terbaik, bukan dengan pakaian yang walo masih layak dipake tapi udah tak diinginkan.

        Untunglah kantorku nggak kayak pemda yang mewajibkan seragam. Andai kantorku seragam. Mungkin bajuku lebih sedikit lagi.

        Kadang aku nggak mengerti kenapa Mr. Marbud Sasongko hobi sekali belanja. Dia itu kalo pilih baju ya ampun. Satu setel baju aja dibanding orang pup tujuh belas kali juga masih kala lama dah. Aku baru nemuin ada cowok scrutin kronis begitu. Selama ini gue merasa Kubil aja udah keterlaluan. Ternyata ada lagi yang lebih parah. Bahkan Jhon Bayu cowok metro versi kos-kosan pun, tewas. Yah begitulah. Orang punya hobi yang aneh. Aku harus memaklumi.

        Ngoceh soal hobi, hobiku sendiri apa yah?

        Rasa-rasanya aku nggak punya hobi yang mengakibatkanku mengoleksi sesuatu. Dulu sih iya, aku sering beli kaset. Tapi itu dah bertahun-tahun lalu nggak. Udah berenti. Lagipula jaman kaset juga udah lewat. Mungkin koleksi buku kali yah. Nggak terasa. Kebiasaan beli buku nyaris membuatku bangkrut. Kalo ditimbang udah berapa ton?

        ….

        "Kamu pura-pura tanyain kek"

        "Apa?"

        "Ini" Kata si lelaki "Ini!" Sambil menarik ujung kemeja. "Buset dah" Seru si lelaki. "Baju baru! kamu tau nggak? Biar seluruh dunia nggak tau. Tapi kamu harus tau!"

        Dia, si perempuan berbando hitam, malah ketawa terkekeh-kekeh. "Freak!" Tukasnya. " Itu pasti nggak akan dicuci seminggu"

        "Biar awet nggak usah dicuci. Diangin-anginin aja kali yah" Tukas si lelaki.

        "Idiiiih" Wajah si perempuan membayangkan sesuatu yang lebih menyeramkan daripada pocong ngesot bunuh diri. “Aku harus siapin masker ama tabung oksigen"

        "Sudah berapa kali ta’ bilang. Supaya asma kamu nggak kambuh, kamu harus makan sate kadal. Nggak perlu pake bawa tabung oksigen"

        Si perempuan menyarangkan tinju bintang selatan ke lengan si lelaki. Si lelaki meringis kesakitan.

        "Lho-lho. Ini juga baru lho…" Tangan si lelaki melesak masuk ke saku celana lalu memunjungkan tangan dari dalam saku. "Juga ini" Dia menghentakkan kaki. Sendal maksudnya. Berharap mahluk di depannya mengerti.

        "Ini juga baru"

        Dia, perempuan itu, menarik jaket katunnya yang berwarna krem terprovokasi. "Baru dicuci" Dia terkekeh sendiri.

        Berdua terpingkal-pingkal. Begitulah ketika kedewasaan tersingkirkan. Setidak-tidaknya itu memberi sebuah jeda pada kepenatan pikiran. Dia lebih suka semuanya mengalir tanpa bisa diterka atau merasa perlu direkayasa.

        "aku tak mau jikalau aku dimadu. pulangkan aku ke rumah orang tuaku…" seorang waria dengan kicrikannya melantunkan lagu dengan suaranya yang ngebas. Sebagai bonus sang waria meliuk-liukan tubuhnya kepada pemilik warung yang memberinya receh.

        "Kamu kalo saya madu. Jangan sampai kayak gitu, yah…" Tukas si lelaki

        Mata indah mahluk di depannya berubah jadi koala…. Klik! Klik! Klik! – abadilah momen itu...(ks'ti)
(Baca Selengkapnya)

Sunday, January 2, 2011

who is erica allbright?

Apa yang dicari orang di internet setelah nonton film Social Network. Oh ternyata sama ama saya : Erica Allbright.

        Hasil gugling bilang : Erica Allbright, she’s real or not?

        Jutaan orang penasaran tentang perempuan yang sepertinya tak pernah bisa dilupakan Mark Zuckerberg ini. Jutaan orang pun gugling bukan untuk mencari tau siapa pemain Erica Allbright yang cakep ini. Tapi orang gugling untuk cari tau : She’s real or not?

        Erica Allbright,
        Dia rill atau cuma bumbu? Diskusi semakin asik saat teman saya percaya kalo sebagian besar kisah pendiri facebook di film itu kemungkinan bener, termasuk tentang Erica--meskipun Mark Zuckerberg bilang yang mirip di film itu hanya tas sangkilnya doang hehehe… * temen saya bilang sah-sah aja sih Zuckerberg bilang begitu, masa dia ngaku seautis itu hehehe *

        Yah film itu memang diadaptasi dari bukunya Ben Mezrich. Sedangkan dalam riset pembuatan novelnya Ben nggak berhasil melibatkan Mark. Mark nggak nanggapin permohonan Ben. Jadi Ben hanya menggali sumber dari orang-orang sekitar Mark Zuckerberg. Semua sudut pandang film ini berasal di luar Mark Zuckerberg. Mungkin kelihatannya timpang. Atau malah jadi objektif karna tidak ada koreksi dari Mark.

        Jadi kisahnya kira-kira “begitu” meskipun ngga persis atau sedramatis itu. Bumbu-bumbu pentinglah. Namanya juga felem hehe…

        Kalo saya nggak salah inget kisah tentang Erica Allbright dibukunya Ben nggak ada *koreksi kalo saya salah soalnya saya baca bukunya melompat-lompat*. Keberadaannya kayak dicut gitu.

        Kalo nyimak dialog antara Erica dan Mark diawal film, pasti semua orang geleng-geleng kepala. Kok ada ya orang macam Mark. Ingin rasanya saya jorogin Mark ke got, atau nimpuk kepalanya, biar nggak terlalu autis.

        Damn! Bukan begitu caranya memperlakukan cewek mark!

        Lebih parah lagi setelah mencerca Erica diblognya, Mark nggak pernah sungguh-sungguh minta maaf.

        Mark Mark Mark, apa susahnya sih minta maaf dengan tulus?

        Susah tentunya bagi Mark, mahluk aneh dengan gengsi setinggi Mount Everest. Nggak pernah dia merasa harus minta maaf atas apa yang dilakukannya… dia bahkan selalu mencari justifikasi tindakannya agar dimaklumi. Siapa nggak kesel coba?

        Kalo kisah ini benar, rasanya ironis banget. Orang yang membangun sebuah jaring sosial terbesar di dunia maya ternyata mahluk yang hampir-hampir antisosial, satu-satunya teman baiknyapun, Eduardo, ia tendang demi mengamankan egonya. Facebook adalah ego Mark, siapapun yang membahayakan facebook, tak perduli teman atau lawan akan ditendang Mark.

        Mungkin jutaan orang harus berterimakasih pada Mark, karna egonya itu facebook berhasil eksis. * Lagi-lagi sebuah ironi *

        Namun yang membuat trenyuh adalah sejenius dan seberapapun kayanya Mark, ternyata tak bisa membuat Erica melirik apalagi kembali padanya. Bagi Erica Allbright, Mark Zuckerberg bukan jenius aneh seperti orang kira. Dia tak lebih dari seorang asshole!

        Ini bukan lagi ironis, tapi tragis, brur! Pendiri facebook yang di add ribuan orang terus menunggu permohonan yang keliatannya tak akan pernah diconfirm oleh seorang usernya. Selamanya…
* nangis deh… kucing disebelah ane *
(Baca Selengkapnya)

Sunday, October 31, 2010

he will keep his 23 forever

Apa yang ingin kau lakukan saat usiamu dua puluh tiga? Kau ingin hura-hura dalam tahun kejayaanmu. Menikmati setiap bit nafasmu, dengan energi yang melimpah ruah. Oh tidak, kau mungkin sudah mulai berpikir serius. Kau ingin serius menjalin hubungan dengan seseorang yang kau cintai. Kau ingin mengejar cita-citamu, mempi-mimpimu. Kau ingin melejit dalam prestasimu. Kau ingin tinju dunia dengan kedua kepalmu. Kau kejar semua kesempatan di depanmu. Banyak. Banyak sekali yang ingin kau kerjakan…

       Begitu juga dengan Toni Haris.

       Ya, Toni Haris namanya. Tinggi seratus tujuh puluh satu. Rambut keriting, bertubuh kurus. Lelaki itu menjelang umurnya yang ke 23. Dia memang tak tampan seperti Mas Edo. Dia juga tak pandai main gitar seperti Jimmy. Tapi dia cukup enak dilihat. Paling nggak itu kata mbak Lusi, yang sering curi-curi pandang pada Toni Haris. Lebih muda, tapi pembawaan dewasa. Tak seperti kamu, Rang… hahaha … iya deh, mbak…

       Meski tak rajin mengaji. Sholat Toni tak pernah tinggal. Dia lelaki baik-baik. Tumbuh dari seorang anak rumahan. Tak pernah merokok, tak pernah minum minuman yang keras-keras gitu. Bahkan dia nggak ngefans ama kopi. Toni Haris tak hobi keluar malam. Apalagi dugeman, nggak bakalan. Begadang palingan jika dapat giliran ronda.

       Ia smart. Tangkas dalam bekerja. Cermat dalam menilai. Perhitungan dalam bertindak.

       So what happen with Toni?

       It happened to him.

       Dia terbaring dengan selang di hidungnya. Selang di nadinya. Selang dan selang di tubuhnya, seolah cairan itu bukan masuk, melainkan menyedot sedikit demi sedikit material tubuhnya. Ia semakin kurus dan rapuh. Tak ada yang tahu persis kapan penyakit itu datang pada tubuhnya. Mungkin dirinya sendiri juga tidak. Dia hanya batuk kecil. Seingatku dua tahun lalu sesekali dia terbatuk. Tak banyak, hanya sekali dua kali. Seperti orang yang hendak mengenyahkan gatal tenggorokan.

       Namun hari ke hari interval batuk pendek Toni Haris semakin dekat. Dulu hanya sekitar lima belas menit sekali. Menjadi lima menit sekali. Sakitkah batuknya itu?

       Toni bilang tidak. Hanya menjengkelkan. Seperti ada yang menggelitik tenggorokannya, minta dibatukkan.

       Batuk itu menguras energi yang besar. Kekuatan batuk hampir seperti bersin. Jika kau bersin terus-menerus dalam satu menit, kau bisa mati. Demikian juga batuk, batuk. Mengguncang tubuh seperti gempa. Jika mengalaminya sesering mungkin organ-organ tubuhmu akan kacau. Otakmu bisa rusak. Syaraf motorikmu bisa putus. Kau bisa mati mendadak.

       Itu sebabnya orang yang sering batuk akan makin kurus. Toni Haris makin kurus.

       Satu setengah tahun yang lalu Toni Haris resmi masuk rumah sakit karna hal ini. Dia menginap di bangsal rumah sakit selama kurang lebih tiga minggu. Keluar dari rumah sakit tampaklah Toni belum sembuh benar. Ia pucat, lesi. Dan batuknya yang kecil masih tak hilang, malah sepertinya frekwensi lebih sering dari sebelumnya. Ia juga jadi sering tidak masuk kantor. Tak perlu ditanya kondisinya kesehatannya. Siapapun dapat melihat dari fisiknya. Setelah itu ia jadi sering mengkomsumsi obat dokter. Lalu keluar masuk rumah sakit.

       Lalu angin berhembus. Merontokan daun. Memudarkan janji. Lembar-lembar sobekan almanak adalah tanda, waktu berjalan.

       Dihitung dari terakhir kali Toni Haris duduk disebelah mejaku, almanak sudah lebih dari delapan puluh kali disobek. udah hampir tiga bulan Toni Haris tidak masuk kantor. Dia tergolek di rumah sakit.

       Penyakit sebetulnya apa? Pada diagnosis sebelumnya, ada indikasi radang paru. Tapi ternyata itu tak betul, setelah dicek-up beberapa kali di laboratorium yang berbeda. Dokter mengatakan ada flek diparu-paru Toni Haris. Aku tak tau jelas sebetulnya, sebab informasi aku terima dari adik perempuan Toni Haris. Sedangkan adiknya diberitahu ibunya. Ibunyalah yang diberitahu dokter. Jadi kira-kira penjelasannya adalah bahwa flek itulah yang menyebabkan dinding paru-paru Toni Haris kesulitan mengikat oksigen yang masuk. Itulah yang menyebabkan dia sering batuk. Karna udara yang dia terima seringkali gagal ditangkap.

       Lalu bagaimana mengobatinya?

       Ibunya bilang, Dokter juga belum bisa memastikan jenis dan penyebab flek paru-paru Toni. Sampel yang dikirim ke Jakarta ternyata diteruskan ke rumah sakit Singapura. Peralatan rs Jakarta belum mampu menganalisis sampel tersebut. Tapi sampai kini tak ada kepastian tentang hasil analisis itu pihak rs Singapura. Karna sering baca buku kedokteran, jurnal kesehatan, jurnal dokter. Aku jadi tau bahwa dokter itu hampir tidak dapat dipercaya. Dokter itu hanya mengira-ngira. Sedangkan gejala penyakit yang jumlahnya jutaan itu hampir serupa. Dan karna dokter mengira-ngira maka dokter berlindung dibawah ketiak prosedur. Selama dokter mengikuti prosedur maka dia kebal terhadap segala jenis tuntutan. Segala kesalahan, kegagalan dibawah prosedur adalah manusiawi. Diluar itu baru disebut kelalaian atau kealfaan.

       Diagnosis.
       Diagnosis.
       Diagnosis.

       Dokter bilang inti pengobatan itu adalah diagnosis. Tanpa diagnosis yang tepat, semua pengobatan akan sia-sia. Takkan bermuara pada kesembuhan. Sebetulnya bukan hanya sia-sia, namun bisa menimbulkan penyakit baru. Maka sibuklah para dokter itu mendiagnosis penyakit Toni Haris.

       Dokter sebelumnya, mendiagnosis Toni Haris begini. Dokter yang lain, mendiagnosis begitu. Datang lagi dokter yang katanya lebih canggih bilang yang lain lagi. Diagnosis ternyata adalah kira-kira. Sekolah yang begitu lama, Buku yang tebal-tebal, peralatan yang canggih ternyata hanya menghasilkan kira-kira. Begitu rapuhnya pengetahuan manusia. Tapi ironisnya banyak manusia yang begitu sombong hanya karna merasa bisa menyembuhkan suatu penyakit.

       Diagnosis yang tak berhasil, pengobatan yang tidak tepat, menjadikan Toni Haris objek eksperimen pengobatan. Suatu ketika dia diinjeksi beberapa ampul obat yang tak tau apa sebutannya. Hingga dia kesulitan bernafas. Lain waktu dia diberi obat lain yang membuat gangguan saraf di telapak kakinya. Hingga telapak kakinya sakit untuk dipijakan. Tak tau apa jenis obat itu. Yang jelas obat itu mahal. Tapi tak sedikitpun obat mahal itu menyembuhkannya.

       Hari ke hari penurunan kesehatan Toni akselerasinya makin cepat. Dari dapat berjalan sendiri ke toilet, hingga harus dipapah. Dari sholat berdiri, kemudian menjadi duduk, hingga akhirnya berbaring saja. Dari bisa bercakap-cakap dengan penjenguknya, hingga hanya bisa menatap mata penjenguknya saja.

       Mbak Lusi menangis melihatnya. Mbak Lusi menangis menceritakannya. Lidahku kelu, ludahku getir mendengarnya. Aku menolehkan wajah saat kurasa mataku menghangat. Kulihat, Ri pun menggigit bibir saat kuceritakan, padahal dia tak kenal Toni Haris.

       Mungkin jika Toni Haris boleh protes pada Tuhan. Dia akan protes, kenapa dia yang sudah begitu baik menjaga kesehatannya, menjalani hidupnya sebijak mungkin diberi sakit seperti itu. Kenapa tidak orang yang menghirup nikotin berkardus-kardus saja. Kenapa tidak mereka yang menghabiskan umurnya di kepulan asap diskotik. Masihkah mereka bisa tertawa jika melihat perjuangan Toni Haris untuk dapat bernafas dengan lapang dan merdeka…

       Tapi sepertinya Toni Haris sudah memahami. Setiap orang dapat ujiannya sendiri.

       Malam itu dokter datang pada ibunda Toni Haris. Ada sebuah obat baru, yang akan dicoba pada Toni Haris. Dokter memohon ijin. Jika obat yang ini gagal, sang dokter angkat tangan. Ini obat terakhir. Upaya terakhir…

       Toni yang beberapa hari hanya terbaring dan terpejam dengan sesekali terbatuk, seusai diberi obat itu kelihatan tenang. Jam dua malam Toni Haris terjaga, dia bilang haus pada sang bunda. Ibunya yang berjaga menyuapinya susu. Toni Haris minum begitu lahap. Sempat tersenyum ketika sang bunda mengelus kepalanya. Beberapa menit setelah itu dia tertidur lagi. Nafasnya kian melemah. Sepuluh menit kemudian metronom jantung Toni Haris grafiknya menjadi garis datar.

       Ibundanya tau, Kepergian Toni Haris hanya tinggal hari atau jam. Dan beliau sudah bersiap menerimanya. Jika Mbak Lusi diberi pilihan, mungkin ingin lebih cepat lagi. Tak tahan ia melihat keadaan Toni Haris. Mungkin juga sang bunda. Ya beliau sudah bersiap melepas Toni. Tapi beliau menangis jua saat anaknya pergi.

       Toni Haris pergi.
       He just began in 23 at that time… and he will keep his 23 forever
(Baca Selengkapnya)

Saturday, July 24, 2010

blackberry

"rang, no pin lu brapa?"

       "pin?" karang mengernyit. oh "010101" jawab karang. maka terbahaklah salah satu sontoloyo, yang kemudian diikuti sontoloyo-sontoloyo berikutnya. hahaha karang pun ikut tertawa. paling asik memang menertawakan diri sendiri. gratis n no risk.

       "kalo lu tanya karang nilai register asembler baru ngerti dia" didi kidi selalu ambil bagian dalam acara ngebullying karang.

       "rang. tuh liat anak-anak pekael aja maenannya bb" eko buyut mencolek karang. seorang anak pekael di kantin sedang maenan bb-nya, "masa lo kalah" timpal penyo bin penyu

       "nggak mempan – gak mempan" balas karang. kepalanya geleng-geleng. mulutnya komat-kamit baca ta’awud.

       para sontoloyo terpingkal.

       sore itu, para sontoloyo sedang ngomporin karang, supaya beli blackberry. menurut hemat mereka dengan takehomepay karang yang sekarang, amatlah tidak pantas memegang hape jamurannya. oh-oh karang jadi malu ngedengernya. please, jangan ngebayangkan bahwa gaji karang itu setingkat manajer perusahaan bakrie. jauh, kejauhan, bung. sebab karang hanyalah karyawan gajian biasa, yang mana gajinya barangkali lebih nggak terlalu banyak daripada gaji pns biasa. dan kalo mereka bilang foya-foya, itu artinya nggak jauh dari makan-makan di warung padang, atau nonton ke twentiwan. ato jalan kere-kerean ketempat yang temen-temennya bisa bergidik kalo diceritain (ih jangan mikir yang aneh-aneh ya...)

       (mbak, mas, om, tante mohon diralat ekspektasinya yah... )

       begitulah, namanya karang, tetaplah karang--kek batu kata si penyo. menurut prediksinya sendiri. mungkin dia bakalan jadi orang terakhir di atas dunya, di kolong langit, di planet bumi, yang barangkali akan pegang bb. itupun dengan catatan hape dia yang sekarang ini udah modar.

       "…duitnya utuh nggak kemana-mana. langsung masuk ke rekening. paling-paling cuma buat bensin…" ucap penyo bin penyu.

       "…bayar kos, nggak. cicilan rumah, kagak. dugem nggak …" eko buyut menambahkan dengan mulut berdecak.

       "coba bayangkan jika semua orang indonesia seperti karang. ekonomi akan macet. dana simpanan menumpuk. tak ada sirkulasi uang di pasaran" analisa cerdas nan jenius yang bisa merontokkan teori konsumsi keynes dikeluarkan oleh ajo.

       terbahak lagi.

       kadang-kadang dalam pikiran konyolnya, karang ingin tanya, tentang apakah mereka ini masuk stan nyogok apa nggak. secara melihat kenyataan, kadang betapa simplenya pikiran mereka. seperti melihat kehidupan amuba di cawan patry : hanya membelah diri. so simple. sesimple melihat cacing di dalem tanah (emangnya bisa ngeliat cacing di dalem tanah?).

       adakah yang pernah memikirkan apakah membelah diri itu sakit atau tidak? apakah cacing di dalam tanah takut gelap dan kesepian atau nggak? mungkin karang kurang menyadari, jika persoalan mayor yang muncul itu-itu saja. orang cenderung menjadi kebas dan tumpul. tidak bisa lagi melihat variabel diluar dirinya. hingga begitu banyak persoalan menjadi seperti grafik diatas kertas dengan dirinya sendiri sebagai barometer.

       halah-halah kenapa jadi ngelantur.

       nggak kek gitu, kali. yang betul karang nggak cuma ngerti dengan kegilaan konco-konconya, ama barang yang judulnya blackberrie. seolaholah dunia kembali ke jaman batu tanpa megang si berrie.

       apakah dunia berhenti jika nggak chichat barang sehari? terus terang, karang adalah tipe orang paling malas chit dan chat. mungkin dia adalah orang aneh diantara kaumnya. karang nggak suka ngobrol ditelpon lama-lama, tanpa ada subjek penting. karang juga nggak suka ngomentarin apa yang disebut status. apalagi nulis-nulis “hal tidak penting ttg dirinya” untuk disebut status. wow. dan bagi karang ngga penting ngobrolin hal-hal konyol ditelpon siang atau pagi hari kalo sore atau malemnya mereka ketemu. dan sekarang blackberry. mahluk apa itu? he’s nothing to do with that stuff n he pretty sure de stuff nothing to do with him.

       u know why?

       becoz he’s freak. that’s all
(Baca Selengkapnya)